(scroll down for English version)
Latar Belakang
Ide mengenai Ethnolab lahir dari beragamnya aspirasi dan latar belakang konseptual yang membingkai trayek dua inisiator utamanya yaitu KUNCI dan proyek The Researchers’ Affects
Sejak berdirinya pada 1999 di Yogyakarta, Indonesia, KUNCI aktif dalam menghasilkan dan menyalurkan pengetahuan kritis melalui perjumpaan lintas disiplin. Hal ini diwujudkan antara lain dengan peluncuran sebuah program yang dinamakan Exchange Room pada 2010 sebagai embrio dari Ethnolab. Exchange Room diprakarsai atas dasar pengalaman kolektif saat menjadi tuan rumah bagi orang-orang yang berasal dari berbagai latar belakang – para akademisi, seniman, atau aktivis yang datang ke Yogyakarta untuk melakukan penelitian dan studi. Para peneliti yang berkunjung, dari wilayah lain di Indonesia maupun dari luar negeri, seringkali memiliki waktu yang terbatas dalam melaksanankan agenda kerja mereka. Selain itu mereka juga harus berurusan dengan berbagai macam ketegangan yang biasa dialami saat tiba di ‘lapangan’ baru. Perjalanan emosional ini, atau ritus peralihan, – meminjam istilah antropologi, punya banyak bentuk, mulai dari menghadapi kesulitan praktis dalam kehidupan sehari-hari hingga persoalan yang lebih eksistensial seperti mengatasi ‘kejutan budaya’, atau tersesat dalam labirin birokrasi lokal, hingga tantangan besar saat mencoba menjalin kontak yang bermakna dengan para calon peserta penelitian.
Anggota KUNCI belajar (dari pengalaman mereka sendiri maupun dari mengamati berbagai kegiatan serupa yang diselenggarakan oleh kolektif lainnya di Yogya) bahwa gagasan ideal mengenai interaksi riset sebagai zona kontak yang dilandasi pertukaran pengetahuan yang setara, hubungan saling menguntungkan dan etis antara para peneliti dan yang diteliti kadang tidak tercapai. Situasi-situasi sulit ini dapat dikaitkan dengan berbagai faktor: cara-cara penelitian yang terlalu memberi penekanan pada hasil akhir ketimbang proses yang terbuka; asimetri kuasa (dalam hal hirarki profesi, politik dan ekonomi) yang dapat muncul di antara peneliti dan peserta penelitian; atau berbagai kesalahpahaman yang disebabkan oleh perbedaan sosial, ekonomi, profesi, budaya, maupun bahasa. Situasi kerja lapangan yang menantang inilah yang menjadi pertimbangan utama KUNCI ketika mengorganisir Exchange Room sebagai titik pertemuan yang disasar pada pengembangan atmosfer kolaboratif dalam interaksi kerja lapangan. KUNCI menargetkan ko-produksi antara mereka yang terlatih dalam metode penelitian, dan anggota-anggota komunitas yang sedang dipelajari dalam rangka menciptakan pengetahuan berbasis lokal yang tidak hanya bermanfaat bagi komunitas-komunitas ilmiah/artistik saja tapi juga siap diterapkan untuk pemahaman bersama dan pembelajaran komunal.
Paralel dengan itu, proyek The Researchers’ Affects, yang diprakarsai oleh tim lintas-disipliner yang terdiri para dari antropolog, ahli primata, dan peneliti sastra yang berbasis di Freie Universität, Berlin dan University of Berne, Swiss pada 2013, mengedepankan pentingnya peran afeksi dan emosi dalam proses dan hasil penelitian: mulai dari pemilihan subyek riset, posisionalitas peneliti dan pengumpulan data, sampai ke interpretasi mereka dan juga representasinya di publik. Para akademisi yang tergabung dalam proyek ini berpendapat bahwa analisis kritis dari afeksi peneliti haruslah dicermati secara teoritis dan empiris dan tidak diekslusi dari praktik ilmiah. Alih-alih meniadakan atau menganggap afeksi sebagai produk sampingan yang bersifat esoterik, proyek ini mencermati mereka secara sistematis dan dengan demikian mengkaji kontribusi produktif dari afeksi pada kajian ilmiah dan penyebarluasannya ke komunitas-komunitas (akademik) yang lebih luas. Oleh karena itu fokus dari proyek ini dibidik ke peran afeksi dalam produksi pengetahuan ilmiah dan diarahkan ke penerjemahan pengalaman afektif yang subyektif selama perjumpaan antara peneliti-yang diteliti menjadi paradigma yang bisa diverifikasi dan dapat direproduksi. Untuk itu, afeksi peneliti tidak hanya dipelajari dari sudut-sudut disiplin ilmu yang berbeda, tapi juga dikembangkan melalui metode-metode baru dan model produksi pengetahuan yang juga baru sambil diuji secara empiris dan terus disempurnakan. Pada akhirnya, proyek ini bertujuan untuk mendorong perjumpaan yang bertanggung jawab secara etis antara para peneliti dan yang diteliti, pemahaman berbasis empiris pada yang ‘secara kultural berbeda’ dalam hubungannya dengan pengalaman-pengalaman afektif para peneliti, dan representasi praktik etnografi yang punya kesadaran afektif dalam teks-teks ilmiah.
Dengan demikian, program Exchange Room-nya KUNCI dan proyek The Researchers’ Affects memiliki persinggungan yang kuat terkait dengan cara mereka melakukan pendekatan dalam, dan penilaian atas, praktik-praktik penelitian. Kesamaan minat ini juga meliputi pentingnya kerja-kerja lintas-disiplin, transparansi dan hubungan timbal balik dalam kerja lapangan, perhatian pada posisionalitas para peneliti dan penekanan terhadap perjumpaan penelitian dan representasi yang bertanggungjawab secara etis. Ide mengenai Ethnolab muncul pada Juli 2014 saat tim Researchers’ Affects merencanakan kunjungan ke Yogyakarta sebagai bagian dari program pelatihan yang mereka adakan untuk para peneliti muda. Kunjungan ini dilakukan untuk memberikan pengenalan kerja lapangan dan penulisan etnografi untuk para akademisi sastra dan ahli primata. KUNCI dengan antusias menyambut ide ini dengan secara sukarela menjadi tuan rumah dan memfasilitasi upaya lintas-kultural dan disiplin ini. Ethnolab dimulai pada Januari 2015 dengan serangkaian lokakarya dan penelitian etnografis yang dipandu selama tiga minggu.
—
Contextual Background
The idea of the Ethnolab was conceived out of the diverse aspirations and conceptual backgrounds that respectively frame the trajectories of the two main initiators, namely KUNCI and The Researchers’ Affects project.
Since its founding in 1999 in Yogyakarta, Indonesia, KUNCI has been deeply preoccupied with critical knowledge production and sharing through means of cross-disciplinary encounters. This is realized, among others, by the launching of a program called Exchange Room in 2010 – the embryonic version of the Ethnolab. Exchange Room was founded upon the collective’s experience in hosting people from various backgrounds – academics, artists, or activists, who come to the city of Yogyakarta to conduct their research and studies. Visiting researchers, from other parts of Indonesia as well as from outside Indonesia, often have a limited amount of time to pursue their agendas in addition to dealing with the manifold tensions that are commonly experienced when arriving in a new ‘field’. These emotional journeys, or rites of passage, – to use an anthropological term, range from facing practical difficulties in everyday life to more existential ones such as overcoming ‘culture shock’, or getting lost in the maze of local bureaucracy, to the great challenges when attempting to establish meaningful contacts with prospective research participants.
Members of KUNCI have learned (from their own experience as well as observing similar activities hosted by other collectives in Yogya), that the ideal of ethical and mutually beneficial relationships between researchers and the researched can sometimes go off-course. Unfolding predicaments can be attributed to various factors: research treatments, which overemphasize end-products rather than open-ended processes; the power asymmetries (in terms of professional, political and economic hierarchies) that can emerge between researchers and research participants; or various misunderstandings caused by social, economic, professional, cultural as well as language differences. These challenging fieldwork situations were the main considerations for the provision of Exchange Room as a meeting-hub in order to foster collaborative atmospheres in fieldwork encounters. KUNCI targeted a co-production between scholars who are trained in research methods, and members of the communities being studied in order to create locally grounded knowledge that is not only beneficial for scientific/artistic communities but also readily applicable for mutual understanding and communal learning.
In parallel, The Researcher’s Affects project, initiated by an interdisciplinary team of anthropologists, primatologists, and literary scholars based at the Freie Universität, Berlin and the University of Berne, Switzerland in 2013, advocates that affects and emotions inevitably influence both research outcome and process: from the choice of research subjects, the researcher’s positionality and the generation of data, to their interpretation and public representation. The scholars argue that the critical analysis of the researchers’ affects should be theoretically and empirically scrutinized and not excluded from scientific practice. Instead of obliterating or deeming them as esoteric by-products the project scrutinizes them systematically and thus renders them productive for science and the communication of its results to the wider (academic) community. Hence the focus of this project lies on the role of affects within scientific knowledge production and aims at the translation of subjective affective experience during researcher-researched encounters into verifiable and reproducible paradigms. To this aim, the researchers’ affects are not only studied from different disciplinary angles, but new methods and models of knowledge production are developed, empirically tested and refined. Ultimately, the project aims at endorsing ethically responsible encounters between researchers and researched, an empirically grounded understanding of the ‘culturally other’ in relation to the researcher’s affective experiences, and an affectively aware representation of ethnographic practice in scientific texts.
Apparently, KUNCI’s Exchange Room and the Researchers’ Affects project have a number of strong overlaps with regard to how they approach and value research practices. The mutual interests include the importance of interdisciplinarity, transparency and reciprocity in fieldwork, the attention to researchers’ positionality and last but not least, the emphasis on ethically responsible research encounters and representations. The idea of the Ethnolab came up in July 2014 when the Researchers’ Affects team planned an excursion to Yogyakarta as part of their training program for young scholars, which targeted the introduction to ethnographic fieldwork and writing for literature scholars and primatologists. KUNCI eagerly embraced this idea by volunteering to host and facilitate the transcultural and interdisciplinary endeavor. The Ethnolab kicked off in January 2015 by a series of workshops and guided ethnographic research over the course of three weeks.