Yogyakarta, tumbuh dan berkembang menjadi salah satu kota dengan berbagai keberagaman di dalamnya, mulai dari masyarakat, budaya, hingga bentuk hiburan. Salah satu bentuk hiburan yang mungkin paling mudah diakses adalah musik. Semenjak saya menjejakkan kaki di Yogyakarta pada medio 2005, dan tinggal di dalamnya hingga detik ini, saya menyaksikan bahwa dinamika perkembangan skena musik di Yogyakarta sangatlah pesat. Musik sudah hadir di tengah masyarakat dalam segala macam bentuk, cara dan berbagai kompleksitasnya. Banyak nama; entah itu lama ataupun baru; dari berbagai jenis musik yang hadir dan turut meramaikan dinamika musik di Yogyakarta. Keragaman ini telah memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk memilih musik mana yang akan dinikmati. Musik bukan hanya menjadi sekedar pemanis, namun telah berkembang dengan posisi strategisnya menjadi media pembentuk identitas[1] atau lahan mencari uang. Berbagai media pendukung untuk kelanggengan sebuah skena, artis, penyanyi ataupun band juga subur bermunculan dimana-mana. Salah satu perwujudannya adalah merchandise.

Sama halnya dengan musik, merchandise juga telah berkembang ke dalam banyak rupa dan fungsi. Kita akan lazim menemui segerombolan anak muda memakai t-shirt, hoodie, ataupun topi sebuah band tertentu di jalan atau coffee shop terdekat. Metode penjualan yang ditawarkan pun juga bermacam-macam mulai dari kolega terdekat, berbaur dengan distro[2], toko fisik, hingga memanfaatkan teknologi internet dalam bentuk online shop. Salah satu yang menarik adalah fenomena kehadiran lapak merchandise dalam acara musik atau gigs musik di Yogyakarta.

Kehadiran lapak merchandise dalam acara musik tampak memberikan nuansa tersendiri bagi perhelatan acara musik itu sendiri. Apabila biasanya pola pengunjung pertunjukan musik itu adalah “datang–nonton–pulang”, bisa jadi berbeda dengan adanya kehadiran lapak merchandise. Kehadiran lapak merchandise bisa membuat nuansa area di sekitar konser yang tadinya tampak biasa-biasa saja jadi berbeda dan lebih hidup. Lapak merchandise juga bisa menjadi satu tempat “stop by”, sebelum atau sesudah pengunjung menikmati pertunjukan musik. Lapak merchandise juga tampak memberikan alternatif baru bagi para fans atau konsumen musik yang ingin segera membeli rilisan ataupun merchandise seusai menyaksikan pertunjukan musik. Lapak-lapak merchandise ini tampak seperti ingin menghadirkan kembali sebuah tradisi jual beli klasik, di mana penjual dan pembeli terlibat interaksi langsung dan memungkinkan terjadi pertukaran informasi di dalamnya. Interaksi dan arus pertukaran informasi di dalam lapak seakan sudah menjadi hal yang sangat lazim terjadi dalam sebuah lapak. Menjadi nilai transaksional lain di luar transaksi ekonomi yang praktis terlihat secara kasat mata. Gosip seputar skena pun juga beredar di dalamnya. Pada akhirnya lapak seakan menjadi satu bagian tersendiri yang dinantikan kehadirannya dalam sebuah gigs; namun juga tidak terlepas dari estetika keutuhan rangkaian gigs tersebut.

Gambar 1: Beberapa bentuk lapak dalam gigs (dok. Bagus Anggoro dan Triaman “Sambrenk”)

Beberapa bentuk lapak dalam gigs, dok.: Bagus Anggoro & Triaman “Sambrenk”.

Bertolak dari pemaparan tadi, tulisan yang berangkat dari penelitian singkat ini bertujuan menampilkan bagaimana posisi dan peranan lapak merchandise dalam skena musik Yogyakarta, dengan mencermati proses interaksi serta pertukaran informasi yang terjadi di sana. Interaksi seperti apa yang terjadi? Informasi macam apa yang beredar? Bagaimana dinamika yang terjalin? Serta bagaimana strategi mereka dalam memberikan gosip ataupun informasi? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang muncul dan mewarnai proses penelitian singkat ini.

Sejalan dengan ini, apa yang dikatakan Appadurai[3] (1986:13-15) tercermin pada fenomena lapak merchandise. Pemaknaan nilai muncul dalam komoditas yang pada akhirnya dipertukarkan secara ekonomis. Pertukaran yang menghasilkan nilai akan membuat suatu barang punya kehidupan sosialnya sendiri. Dalam konteks ini dapat diartikan bahwa merchandise dan lapaknya pada akhirnya tidak hanya dipandang sebagai sebuah barang yang diperjual-belikan dan tempat untuk bertransaksi jual-beli, tapi juga ada makna-makna lain di baliknya.

             “A regime of value, in this sense, is consistent with both very high and very low sharing of standards by the parties to a particular commodity exchange. Such regimes of value account for the constant transendence of cultural boundaries by the flow of commodities, where culture is understood as a bounded and localized sytem of meanings.” (Appadurai, 1986:15)[4]

Supaya menjadi barang dagang (komoditas), maka ada nilai sosial yang melekat dalam proses produksi. Pada akhirnya komoditas tidak terlepas dari nilai-nilai, atau yang disebut “rezim nilai” (regime of value). Nilai-nilai dalam suatu komoditas akan berubah sesuai konteks ruang dan waktu. Berdasarkan pemahaman ini, fenomena lapak merchandise dan interaksi di dalamnya dapat diasumsikan sebagai suatu kegiatan yang pada akhirnya memunculkan penilaian makna tersendiri, dan hadir hanya dalam satu konteks ruang waktu tertentu; yaitu pertunjukan musik atau gigs.

Orang sering bertanya kepada saya, mengapa saya suka mempertanyakan hal-hal yang sifatnya sepele, lalu dibuat penelitian? Saya akan mencoba menjawabnya di sini. Menurut saya kadangkala memulai sesuatu hal besar itu bisa dimulai dari hal kecil yang kita lakukan dengan tekun dan teliti. Kadang kita juga mengabaikan hal-hal kecil yang terjadi di sekitar kita. Itulah mengapa saya mengangkat tema “Lapak Merchandise dalam sebuah gigs di Yogyakarta” di kegiatan Ethnolab ini. Sejauh ini, saya tidak memikirkan kegunaan langsung dari penelitian ini, karena saya percaya satu saat nanti pasti akan ada satu-dua orang yang membacanya dan di situ kita akan berbagi pengetahuan. Sejauh apa ia bisa berkembang, masih di luar bayangan saya. Mengingat ini adalah laboratorium etnografi, saya yakin semua tema yang ada pasti akan memiliki kadar kualitas, rasa, kompleksitas, serta pengembangan masing-masing.

Penelitian yang sudah saya lakukan sejauh ini bisa dikatakan menyenangkan, menyebalkan, sekaligus menggairahkan. Sehari-hari saya bekerja sebagai seorang penjaga sebuah toko merchandise musik, yang secara langsung memposisikan saya sebagai salah satu pelaku dalam topik penelitian yang diangkat. Kadang subyektivitas muncul dalam penelitian ini; baik mulai dari pencarian data, analisis, ataupun penulisan. Namun menurut saya, bukankah subyektivitas itu perlu dalam rangka membangun asumsi-asumsi awal dan kemudian penelitian ini membantu menguji asumsi-asumsi tersebut? Mengingat topik penelitian yang diangkat dengan pekerjaan sehari-hari saya hubungannya sangat dekat, maka kadang ego itu muncul dalam bentuk-bentuk subyektivitas semacam pemilihan informan, alur cerita yang diharapkan, pengabaian hal-hal yang dianggap kurang menarik dan tidak mendukung, dan semacamnya. Saya hanya berusaha mengelolanya sedemikian rupa supaya hal tersebut tidak merusak, namun justru membantu membangun penelitian ini.

Benturan dengan aktivitas keseharian yang lain, kehidupan pribadi, hingga kondisi fisik juga tak luput dari bagian yang mewarnai setiap langkah penelitian ini. Saya beruntung karena di sekitar saya, hadir kejadian-kejadian dan orang-orang menyenangkan, mereka yang selalu menyediakan waktu dan tempat untuk saya. Entah itu untuk sekedar bermalas-malas, bertanya jawab, hingga melontarkan ataupun merespon pertanyaan-pertanyaan serius. Beruntungnya, informan-informan yang saya temui dalam rangka memperoleh data ternyata sangat kooperatif dan bersemangat dalam membagikan ceritanya. Mereka juga sangat mendukung keberlangsungan proses ini dan bahkan menunggu hasil akhirnya nanti. Opini serta dukungan mereka terhadap keberhasilan proses penelitian ini sungguh membangun kepercayaan diri saya. Itu satu bentuk tanggung jawab etis yang kelak harus saya bayarkan kepada mereka.

Sejalan dengan ini, saya menerapkan metode etnografi sebagai cara kerja besar disini. Terutama dengan melakukan teknik pengumpulan data kualitatif dengan mengoptimalkan segenap pancaindera saya sebagai peneliti. Wawancara dipakai sebagai salah satu teknik awal. Bukan wawancara resmi seperti yang ada dalam radio-radio atau televisi, namun sifatnya lebih ngobrol-ngobrol secara santai sembari nongkrong. Hal ini dilakukan dengan tujuan supaya informan tidak merasa terlalu kaku, serta bisa memberikan jawaban atau informasi seperti yang diinginkan dengan leluasa.

Observasi dan pencatatan dalam setiap gigs ataupun obrolan dari kegiatan sehari-hari juga saya lakukan di sini. Dari sana kadangkala hal-hal menarik sering ditemukan dan bisa mendukung penelitian yang saya lakukan. Misalnya seperti saat saya secara tak terduga bertemu dengan beberapa informan dalam sebuah gigs, dan mereka langsung mau diwawancara saat itu juga. Atau saat saya mencoba mewawancara salah seorang informan dalam sebuah gigs, namun dia menolak karena sedang ingin menikmati acara dan kemudian memarahi saya. Beruntung kami bisa membuat janji di lain hari. Beberapa pengambilan gambar dalam bentuk foto juga dilakukan dalam rangka mendukung data awal serta mengatasi keterbatasan daya ingat serta waktu penelitian. Yang terakhir juga tak lupa adalah studi pustaka (dokumen, buku, artikel jurnal ilmiah, berita koran dan majalah) baik digital maupun non digital. Pencarian literatur ini dilakukan dengan tujuan menyediakan bahan pembanding sekaligus bagian dari pengetahuan yang ingin dibangun dalam proses penelitian ini.

Merujuk pada fenomena yang ada dan teknis di lapangan, maka analisis data yang paling memungkinkan dilakukan untuk data kualitatif adalah menggunakan kerangka analisis interpretatif atau tafsir dalam melihat pola-pola yang muncul dalam fenomena lapak ini. Menurut saya ini pas dilakukan karena seluk-beluk lapak merchandise musik dapat dianalogikan sebagai sebuah teks. Teks menempati posisi sebagai media representasi yang bekerja menyebarkan atau menyampaikan ide-ide, pesan-pesan, pengetahuan tertentu, aturan tertentu, nilai-nilai, perasaan, dan seterusnya dimana teks menggunakan sekumpulan huruf sebagai perangkat simbolisnya yang disusun sedemikian rupa, sehingga membentuk sebuah kalimat yang bermakna. Kumpulan huruf yang merepresentasikan ide-ide atau pesan-pesan tertentu inilah yang kemudian disebut “teks”[5]. Teks memungkinkan melakukan ini karena beroperasi sebagai “sistem yang representasional.” Representasi melalui teks inilah yang kemudian menjadi penting disini dan menduduki posisi sentral dalam memproduksi “makna”, dimana teks itu sendiri merupakan sebuah rangkaian kejadian, simbol dan tanda yang bisa dibaca dan diberi makna oleh pembacanya; termasuk oleh saya sebagai peneliti.

Membaca, kemudian menafsir lalu menginterpretasi atau menempeli makna pada suatu teks yang dipahami bisa dibilang merupakan kerja yang sifatnya sangat subyektif, karena memang berangkat dari sudut pandang saya sebagai peneliti. Kendati demikian, subyektivitas ini sebisa mungkin direduksi agar mengurangi bias peneliti. Alih-alih menciptakan obyektifitas murni, apa yang disajikan di sini merupakan hasil relasi intersubyektif[6] antara yang meneliti dan diteliti. Menurut saya akan sangat membosankan apabila bekerja hanya dengan sumber literasi yang sudah pernah ada, namun saya juga menyadari bahwa wawancara kadang bisa saja berisi dengan informasi yang tidak jelas atau bahkan kebohongan. Disinilah justru yang menarik sekaligus menantang, bagaimana penafsiran dalam proses menulis itu diperlukan dari berbagai perspektif serta kisah berbeda yang muncul. Proses penafsiran pun tidak saya kerjakan secara serampangan, dan untuk mengurangi bias, saya melakukan beberapa hal. Pertama, dengan melakukan klasifikasi data dan membuat diagram awal dalam rangka menentukan cakupan data, mana saja yang bisa cukup kuat dan tebal untuk bisa ditampilkan. Selanjtnya, saya membuat tulisan dan ringkasan-ringkasan dari data, lalu membacanya ulang. Saya juga mencari tulisan pembanding guna memberi konteks sehingga data yang disajikan juga tidak merupakan hasil pengulangan dari apa yang sudah diteliti orang lain. Yang terakhir adalah selalu membuka diri terhadap masukan serta kritik yang membangun. Untuk yang terakhir ini saya senantiasa mendiskusikan apa yang saya kerjakan dengan beberapa kawan yang saya percaya mampu menjadi rekan diskusi, dan bisa memberikan pandangan-pandangan alternatif.

Sejalan dengan itu, uraian hasil pengamatan dan pencatatan data di lapangan akan dikorelasikan dengan paparan teori dan konsep-konsep dari bacaan yang mendukung serta terkait dengan tema, sehingga akan tercipta satu interpretasi yang baik dan tentunya etnografi yang baik pula.

 

1. Lapak Merchandise dan praktik Melapak dalam Gigs

Apa itu lapak? Kita sering mendengar istilah ini namun kadangkala kita hanya tahu konteks pemakaiannya dan tidak mengetahui arti lebih lanjut dari makna asalnya. Saya sendiri yang secara tidak sengaja pada pertengahan 2009 menjadi penjaga lapak[7], hingga akhirnya keterusan dan menekuni dunia merchandise sampai saat ini pun terkadang bingung mencari definisi aslinya. Ya, barangkali kita sering mendengar di berbagai media istilah semacam “lapak koran”, “lapak barang bekas”, hingga “lapak kaki lima”. Lapak sendiri dapat diartikan sebagai sebuah tempat, wadah, ataupun alas. Dalam judi kartu, lapak bisa diartikan sebagai alas untuk melangsungkan permainan judi tersebut. Dalam memancing, lapak bisa diartikan sebagai tempat duduk yang terbuat dari bambu untuk menunggu saat memancing. Pemulung juga bisa memiliki lapak yang berarti sebagai wadah untuk mengumpulkan barang-barang bekas yang dikumpulkannya[8]. Secara umum, lapak dapat diartikan sebagai tempat kecil untuk melangsungkan satu kegiatan tertentu sekaligus meletakkan barang-barang tertentu.

Gigs. Apa itu gigs? Gigs merupakan bahasa slang yang digunakan untuk menyatakan sebuah pertunjukan musik. Awal mula kemunculannya adalah pada 1920 dan pertama kali digunakan oleh para musisi jazz. Gigs diartikan sebagai sebuah pertunjukan musik yang hanya berlangsung dalam waktu singkat dan dalam satu malam saja[9]. Gigs juga dapat diartikan sebagai sebuah pertunjukan langsung, baik musik, teatrikal ataupun fisik. Dapat juga diartikan sebagai sebuah pekerjaan yang mengacu pada musik ataupun bisnis hiburan[10]. Dalam skena musik Yogyakarta, gigs lebih diartikan sebagai sebuah pertunjukan musik yang berlangsung dalam durasi waktu tertentu dalam satu malam, serta memakai tempat tidak dalam skala besar seperti gedung pertunjukan ataupun stadion. Tempat-tempat atau venue yang dipakai biasanya adalah kafe, arena parkir, ruang alternatif ataupun tempat-tempat berskala kecil lainnya.

Lapak merchandise secara tidak tertulis namun dipahami bersama dimaknai sebagai berjualan dengan cara datang langsung ke venue pada saat gigs berlangsung. Memakai tempat di salah satu sudut venue, diolah supaya tampak menarik, hingga mampu menarik perhatian para konsumen (pengunjung gigs). Lapak dalam skena musik Jogja muncul sebagai salah satu sarana untuk berjualan merchandise. Secara fisik, display untuk memajang barang dan tempat berjualan dijadikan satu; berbeda dengan toko. Konsep transaksi yang dijalankan pun juga sama seperti pasar tradisional, dimana pengunjung / konsumen bisa melihat-lihat langsung, memilih, bertanya, dan apabila tertarik maka bisa membeli langsung barang pilihannya dengan membayar langsung di tempat. Bentuk ini mengacu ke bentuk pertukaran secara tradisional dan lebih menekankan ke interaksi langsung. Acuan inilah yang dipakai mengapa pada akhirnya muncul istilah “lapak” atau “ngelapak” (“pelapak” untuk orang yang menjaganya) untuk penjualan merchandise dengan metode semacam ini.

Lapak pun sebetulnya bukanlah sebuah hal baru di skena musik Yogyakarta. Era 90-an, lapak sebetulnya sudah ada dalam setiap gigs yang diadakan, hanya saja saat itu tidak terlihat. Kendala saat itu adalah keterbatasan tempat, teknologi, dan sarana komunikasi. Hal ini senada dengan pernyataan Indra Menus, kawan sekaligus rekan pelapak yang saya kenal sejak 2008. Bertemu dalam lapakan sebuah gigs yang saat itu diadakan di Kedai Kebun Forum, saya menyempatkan diri untuk sekedar bertanya dan mengobrol tentang ini dan itu sambil ditemani rokok, kopi dan snack. Indra Menus, atau yang akrab disapa Menus merupakan salah satu penggiat skena musik Yogyakarta dari era 90’an. Saat ini dia bekerja sebagai salah satu staf di Doggyhouse Records, salah satu label rekaman di Jogja dan masih aktif sebagai pelapak hingga saat ini.

            “Saya itu memulai lapak itu dari jaman saya masih punk-punk’an. Sekitar tahun 96. Dulu saya berjualan dengan memanfaatkan jaringan pertemanan, buka di pinggir jalan, hingga datang ke gigs. Saat itu gigs belum seramai seperti sekarang, masih sepi dan masih banyak dilarang-larang. Ya maklumlah Orde Baru. Kalaupun ada gigs dan lapak, sepi dan itu-itu aja orangnya. Ya, lapak itu memang sudah ada dari jaman 90’an, cuma belum seramai sekarang dan kemasannya belum seapik sekarang. Semangatnya masih sangat DIY (Do It Yourself) saat itu. Mulai naik berkembang dan ramai movement nya itu ya setelah reformasi 98 itu.[11]

Apa yang dinyatakan oleh Indra Menus senada dengan apa yang dinyatakan oleh Brent Luvaas. Luvaas dalam bukunya “DIY Style” (2012) menyatakan bahwa semenjak keruntuhan masa Orde Baru dan masuk ke era Reformasi, Indonesia mengalami satu keterbukaan ekonomi yang amat luar biasa dan di kota-kota besar Indonesia banyak muncul apa yang dinamakan “kelas menengah baru” (the new middle class). Kelas menengah baru ini merupakan kaum pekerja perkotaan yang sengaja menciptakan ruang ekonomi terbuka dalam rangka menyalurkan hasrat untuk mengekspresikan diri, dan sebagai salah satu bentuk resistensi terhadap krisis moneter yang ada.

Selaras dengan pemaparan di atas, saya melihat lapak merchandise dapat diasumsikan sebagai salah satu perkembangan bentuk dari semangat DIY (Do It Yourself) yang memang hendak menjadi jembatan pengetahuan serta pemerataan akses barang[12]; yang dalam skena musik di Yogyakarta bisa dibaca sebagai pengetahuan tentang skena musik serta barang yang berada di sekitarnya dan dapat diakses oleh semua orang.

Praktik lapak yang selalu hadir langsung dalam sebuah gigs dengan bentuk transaksi tradisional secara langsung bertatap muka dengan para konsumen dapat dibaca sebagai sebuah penekanan ke dalam bentuk interaksi langsung. Interaksi langsung ini dilakukan dalam rangka meniadakan jarak serta semua yang hadir memiliki akses terhadap barang yang ada. Interaksi langsung juga dihadirkan di sini agar jarak antara pelapak dengan para konsumen (pengunjung gigs) mampu dihilangkan, dan tak lagi dibatasi oleh hal-hal semacam toko, meja kasir, ataupun nilai transaksional yang lain dalam bentuk uang. Pada akhirnya lapak menjelma menjadi salah satu sudut interaksi dalam gigs dengan segala obrolan dan informasi yang ada di dalamnya.

2. “Ketemu di Lapak aja ya?!”: interaksi, informasi dan gosip di seputar meja lapak

Apakah arti penting dari sebuah interaksi langsung yang ditawarkan oleh sebuah lapak merchandise? Ya, pertanyaan itu seringkali saya jumpai di era yang sudah sangat didukung oleh teknologi digital hari ini. Saat ini, untuk mengakses sebuah merchandise musik, orang bisa saja dengan mudah mencari toko atau distro terdekat; ataupun dengan bantuan internet bisa mengakses online shop[13] yang kini makin marak ditemui di dunia maya.

Kehadiran lapak secara langsung dalam sebuah gigs mampu menghadirkan interaksi yang sebelumnya dibatasi oleh hal-hal yang disebutkan sebelumnya. Bentuk berjualan secara langsung dan tradisional membuka ruang antara pelapak dengan konsumen. Dalam konteks ini, lapak dan figur pelapaknya bisa menjadi jembatan informasi dalam skena. Informasi yang dimaksud adalah cerita dan gosip di seputaran skena musik itu sendiri, dan dialirkan langsung dari balik sebuah meja lapak.

Secara tak langsung transfer informasi telah terjadi di sini. Cerita ataupun gosip yang beredar dari balik sebuah lapak biasanya akan memunculkan interpretasi orang-orang yang memperolehnya terhadap skena itu sendiri. Hal ini senada dengan yang dinyatakan oleh Triaman kepada saya saat menyempatkan diri bermain di tokonya. Tri atau yang kerap disapa Sambrenk sehari-hari bekerja di outlet Demajors[14] cabang Yogyakarta. Sore itu selama beberapa jam kami pun mengobrol cukup banyak sambil ditemani kopi.

            “Ngelapak itu menyenangkan. Kita bisa jualan sekaligus nongkrong dan ketemu teman-teman. Segala hal kaku yang ada di toko itu hilang. Di lapak itu lebih luwes, kita bisa jualan sambil ngobrol-ngobrol dengan siapapun disana, berbagi cerita ataupun informasi seputaran skena musik disini. Identitas kita juga secara langsung akan dikenal disana yang nanti imbasnya dikenal dalam skena. Batasan antara personal ataupun institusional menjadi lebur disana. Lebih cair.[15]

Gambar 2: Toko fisik Demajors_DIY (kiri) dan lapak Demajors_DIY (kanan). (dok. Bagus Anggoro dan Triaman “Sambrenk”)

Toko fisik Demajors_DIY (kiri) dan lapak Demajors_DIY (kanan), dok.: Bagus Anggoro & Triaman “Sambrenk”.

Walaupun untuk toko fisik ada, namun kerapkali Sambrenk memilih untuk tetap datang ke lapak dengan alasan lebih suka bertemu langsung dengan konsumennya. Hal serupa juga dirasakan oleh Adel. Adel mengurusi sebuah online shop bernama Yogya Music Store, yang berjualan rilisan fisik serta merchandise melalui internet.

            “Kalau untuk ngelapak, jujur aku lebih senang melakukannya. Aku bisa membawa Yogya Music Store ke dalam bentuk nyata dan sering aku manfaatkan untuk janjian dengan konsumen-konsumen yang sudah pesen sebelumnya. Aku ajak aja ketemuan sekalian, biar bisa ngobrol-ngobrol dan sekaligus juga untuk promosi. Kan jadi lebih efektif sekaligus bisa lebih interaktif, bisa ngobrol dengan konsumen, sesama pelapak ataupun penggiat skena yang lain.[16]

Sesuai pemaparan Adel dan Sambrenk, dan juga yang saya rasakan, gigs itu sendiri yang menjadi tempat sebagai pengganti toko ataupun online shop bagi lapak. Hal ini sangat memungkinkan interaksi langsung terjadi, dan oleh pelapak hal ini dimanfaatkan untuk ajang berkumpul sekaligus mempromosikan keberadaan[17] mereka sebagai sebuah lapak dalam skena. Konsumen diajak berinteraksi langsung sekaligus ditunjukkan kondisi dan keberadaan mereka. Hal ini menjadi salah satu alasan kenapa figur seorang pelapak menjadi penting.

Pelapak bisa hadir dari berbagai kalangan, yang biasanya penggiat skena juga. Bisa hadir secara personal maupun institusional. Pelapak secara tidak langsung dituntut untuk harus memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang barang-barang yang dijualnya serta pengetahuan dan informasi tentang skena. Pengetahuan didapat secara informal, dan situasi ini menuntut pelapak untuk belajar sendiri agar dapat membagi pengetahuan tentang skena yang komprehensif dan informatif kepada konsumen. Indra Menus pun juga menyatakan hal yang serupa tentang arti penting figur seorang pelapak,

            “Kalo sama konsumen, kita sebagai penjual juga nggak boleh ngawur. Harus bisa memberi informasi yang edukatif serta komprehensif. Jangan asal jualan aja trus ngawur dan malah bikin konsumennya tersesat. Setidaknya selain jualan, pelapak paling nggak bisa memunculkan obrolan atau diskusi lah dengan konsumen. Berinteraksi seenggaknya, terlepas laku atau nggak laku jualannya. Semisal enggak beli, kan tetep bisa ngobrol-ngobrol. Nah, di situ kan kita bisa bagi-bagi info tentang gigs berikutnya, cerita atau sejarah dari band tertentu, peredaran rilisan dan merchandise serta ngedapetinnya dimana aja. Kan semacam itu salah satu bentuk edukasi dalam skena.

            “…boleh lah kita sebagai pelapak dipandang sebelah mata sama orang-orang, tapi sekarang menurut saya udah beda. Kadangkala tanpa kita yang minta, tau-tau kita dianggap kaya orang penting aja dan dianggap tau info-info tentang skena musik. Sama orang-orang ditanyain ini-itu. Ya mau nggak mau harus belajar dari situ.[18]

Selain itu, lapak juga dianggap penting dalam menunjukkan ke orang-orang tentang bagaimana menghidupi sebuah skena. Lapak dan pelapaknya setidaknya mampu untuk senantiasa mengajak konsumen untuk memunculkan apresiasi dan mendorong orang-orang untuk terus datang ke gigs serta mendukung skena musik yang ada. Selaras dengan hal ini, Adel dari Yogya Music Store pun menjelaskan,

Caranya ya lewat interaksi dari si pelapaknya itu sendiri. Interaksi dan obrolannya mau nggak mau harus pinter ngolahnya supaya bisa mancing orang untuk mengapresiasi ataupun selalu penasaran dengan apa aja acara-acara yang akan hadir. Boleh saingan, tapi seenggaknya satu sama lain tetep saling support dan ada jaringan informasi yang sehat.[19]

Pelapak pada akhirnya menjadi figur penting disini, karena kehadirannya mampu memberikan edukasi dua arah. Di satu sisi pelapak harus bisa membagikan informasi yang edukatif dan komprehensif untuk para konsumen ataupun pihak-pihak yang berinteraksi dengannya, namun di sisi lain pelapak juga tetap harus mau untuk mengedukasi dirinya sendiri tentang pengetahuan skena dan tetap terbuka terhadap segala masukan.

Sebuah lapak yang bertempat dalam sebuah gigs lebih mampu menghadirkan titik-titik yang bisa dimanfaatkan untuk menghadirkan suasana yang tidak kaku. Saya mengamati hal inilah yang menyebabkan orang lebih nyaman untuk berinteraksi. Suasana santai memang akan selalu mendukung untuk melakukan hal-hal yang sifatnya informal seperti mengobrol, nongkrong ataupun sekadar melihat-lihat.

Ngobrol dan melihat-lihat lapak., dok.: Bagus Anggoro

Ngobrol dan melihat-lihat lapak., dok.: Bagus Anggoro

Keadaan santai yang dihadirkan lapak juga sedikit banyak mampu memunculkan minat dari para konsumen. Konsumen dengan kondisi yang lebih santai akan menjadi lebih percaya diri untuk mengutarakan minat, rasa ingin tahu ataupun sekadar bertanya-tanya tentang hal-hal di seputaran skena ataupun tentang keberadaan gigs dan lapak itu sendiri. Salah seorang kawan sekaligus konsumen yang rajin mendatangi adalah Adit. Adit mengungkapkan bahwa adanya lapak dalam gigs selalu membuatnya nyaman dan juga berani untuk mengungkapkan keingintahuannya terhadap hal-hal tentang skena.

            “ Kalau nonton gigs itu selalu ada euforia yang terbangun dari situ. Selesai gigs mampir ke lapak dan liat-liat apa yang ada saat itu. Kalo nggak bisa beli saat itu, pasti akan berusaha mencari infonya lebih lanjut. Gigs yang kecil, intim, cair menurut saya lebih menarik karena bisa lebih informatif dan bisa bertemu orang-orang yang menarik dan menyenangkan di dalamnya untuk diajak ngobrol, nongkrong dan bercerita tentang skena.[20]

Tempat interaksi tanpa batas yang dihadirkan sebuah lapak ternyata juga mampu memunculkan kreatifitas konsumen dalam rangka mencari informasi tentang skena. Tempat interaksi yang dihadirkan oleh lapak juga ditanggapi serupa oleh Gisela Swaragita atau yang akrab dipanggil Gisa. Gisa adalah seorang personel Summer In Vienna, sebuah band berbasis di Yogyakarta dan secara personal sering terlibat aktif dalam berbagai penyelenggaraan gigs di Yogyakarta.

            “Lapak itu kalau menurutku bisa memunculkan image yang tidak tampak. Bisa menjadi tempat mengalirnya informasi serta memunculkan nilai-nilai diluar nilai ekonomis lewat uang. Kita bisa ngobrol, share ide, share informasi ataupun tanya-tanya. Ada sistem tersendiri yang menurutku membuat lapak itu seperti last.fm[21] berjalan, bisa memberikan informasi yang valid.[22]

Pada akhirnya lapak dalam gigs seakan menjelma menjadi sebuah ajang di mana terjadi jual beli barang, namun di sisi lain lapak juga disikapi sebagai tempat untuk belajar tentang skena serta menjadi salah satu tempat berputarnya arus informasi dalam sebuah skena. 

Keramaian di sebuah lapak, dok.: Bagus Anggoro.

Keramaian di sebuah lapak, dok.: Bagus Anggoro.

Praktik konsumsi barang dan acara sebagai komoditas oleh Arjun Appadurai disebut akan mampu menghadirkan kehidupan sosial dari benda tersebut. Bobot dan otoritas sebuah benda dapat dipaksakan dalam kehidupan manusia. Memiliki kekuatan untuk menciptakan dan mempengaruhi keyakinan, memberi kewajiban, memberi sebuah penampilan dan di sisi lain memberikan kesenangan atau kepuasan tersendiri. Appadurai menilai bahwa pergerakan benda komoditas ini yang pada akhirnya memunculkan konteks sosial tersendiri dan menghiasi kehidupan manusia dan memunculkan suatu nilai-nilai baru yang akan diyakini. Dalam konteks lapak merchandise dalam gigs, bentuk-bentuk nilai yang ada dan muncul diyakini telah melampaui hal-hal nilai tukar barang dengan uang. Apabila lapak dan gigs dibaca sebagai sebuah komoditas, maka nilai-nilai itu akan termanifestasikan dalam bentuk-bentuk interaksi seperti nongkrong, ngobrol, bertukar ide dan informasi, bertemu teman hingga orang-orang baru. Nilai-nilai interaksi inilah yang diyakini sekaligus dipercaya kebenarannya oleh para penggiat lapak, gigs dan skena secara keseluruhan sehingga mereka senantiasa selalu berusaha menghadirkan komoditas ini supaya nilai-nilai yang kebenarannya mereka yakini senantiasa hadir dan mampu diakses, dinikmati atau bahkan direproduksi bersama. 

Indra Menus berpose dengan Ringgo Agus Rahman yang mampir ke lapak, dok: Bagus Anggoro.

Indra Menus berpose dengan Ringgo Agus Rahman yang mampir ke lapak, dok: Bagus Anggoro.

Semangat DIY (Do It Yourself) yang muncul dalam sebuah penyelenggaraan lapak di dalam gigs, oleh Brent Luvaas dikaitkan erat dengan konsep nongkrong. Nongkrong di dalam konteks kota Yogyakarta memang sudah menjadi hal keseharian. Ia adalah aspek tambahan dalam hidup yang mungkin dilakukan orang. Saya melihat, dengan nongkrong inilah lahir ide-ide kritis pada pengelolaan suatu skena. Kritik ini lahir dari dari pengetahuan individu yang diangkat untuk bersama ataupun sebaliknya. Dengan nongkrong, etos produksi yang berbasis semangat DIY ini akan terkelola dengan baik dan bisa berkembang.

Keterlibatan banyak pihak saya amati juga menjadi salah satu kunci dalam menggerakkan skena musik secara umum, dan khususnya gigs. Gigs bisa menjadi tidak menarik tanpa kehadiran lapak, namun di sisi lain ketika lapak hadir dalam sebuah gigs interaksinya pun bisa bermacam-macam. Diperlukan adanya kesadaran dari masing-masing pihak dalam penyelenggaraan sebuah gigs untuk menjalankan perannya masing-masing dalam rangka menjaga estetika sebuah gigs dan tetap mengalirkan informasi yang diyakini kebenarannya.

Keterlibatan banyak pihak ini juga yang akhirnya membuat lapak serta gigs menjelma menjadi sebuah tempat untuk belajar bersama. Tempat yang muncul ini berisikan nilai-nilai dalam wujud kesepakatan dan informasi yang selalu dikelola keberadaannya serta ditularkan kepada siapapun yang terlibat di dalamnya. Pembelajarannya pun juga sifatnya sangat cair dan siapapun boleh mengaksesnya. Di sini tampak bahwa pembagian kerja yang kaku sudah dikesampingkan dan berubah menjadi sebuah kerja bersama. Satu sama lain saling belajar dan satu sama lain saling membantu melalui interaksi yang tertuang dalam nongkrong, ngobrol, cerita dan gosip.

3. “Besok mampir ke Lapak lagi ya?!”: Sebuah epilog

Sesuai dengan yang dikatakan oleh Appadurai, komoditas selalu direpresentasikan sebagai hasil proses produksi yang dikuasai oleh hukum permintaan dan penawaran. Komoditas dikatakan memiliki sejarah latar belakang. Sejarah komoditas itu juga tergantung akan kebudayaan di mana barang itu beredar. Penafsiran ini bisa berbeda bagi masing-masing individu hingga sampai pada poin tertentu, sebagaimana kata Appadurai juga, setiap barang memiliki kehidupan sosial tertentu yang bisa memunculkan praktik kebudayaan tersendiri.

Kelompok yang memahami komoditas ini pun juga akan mendapat tempat tersendiri dalam masyarakat atau komunitas. Mereka memiliki kuasa untuk mengatur produksi barang dan siapa saja yang berhak mengkonsumsinya. Mereka memiliki sistem dan aturan tersendiri di dalamnya. Mereka akan mencari area yang mampu memberikan keleluasaan dalam bergerak dan melahirkan nilai-nilai. Sebagai konsekuensinya, barang yang bersangkutan juga hanya bisa bergerak terbatas dalam proses produksinya. Siapa yang mengkonsumsinya pun juga tidak sembarangan. Perlu ada syarat sosial tertentu guna memasuki area konsumsi barang ini. Keterbatasan ini muncul dari kekuatan aturan sosial yang dibangun oleh masyarakat atau komunitas itu sendiri.

Keberadaan lapak dalam gigs yang dinilai sebagai sebuah komoditas, akan mampu memunculkan satu kehidupan sosial tersendiri yang mampu menciptakan nilai, ruang, hingga interaksi di dalamnya. Tenaga kehidupan dari sebuah komoditas ini muncul dari para pelaku yang secara langsung terlibat dalam praktik skena musik di Yogyakarta. Mereka senantiasa hadir untuk menjaga kehidupan sosial serta arus perputaran nilai dalam sebuah skena, yaitu skena musik di Yogyakarta.

Lapak dalam sebuah gigs bisa dianalogikan sebagai sebuah wujud “panggung” yang lain. Ketika ini sudah menjadi suatu rutinitas yang dijalankan dan berkembang, maka akan muncul kecenderungan untuk menomorduakan nilai transaksi ekonomi dari kegiatan jual beli. Ekonomi tidak lagi bertumpu pada uang belaka. Ada sistem yang membedakannya dengan cara kerja industri. Sistem ini terbangun dengan satu pemahaman bersama yang sifatnya khusus. Posisi setara ini menghilangkan soal siapa yang melayani dan dilayani, karena siapapun yang ada di dalamnya dituntut aktif untuk menempuh proses interaksi sosial yang dimungkinkan oleh lapak.

Proses yang muncul disini sifatnya informal seperti melalui ngobrol, nongkrong, sharing. Pola-pola semacam “penasaran lalu melihat, melihat lalu bertanya, bertanya lalu suka, suka lalu mencari tahu” bekerja di sini dan akan memunculkan sebuah interaksi. Interaksi disini kemudian akan memunculkan cerita, gosip, maupun informasi-informasi seputaran skena yang akan diolah dan diinterpretasikan. “Si A bercerita ke si B. Si B yang mendapat cerita itu lalu meneruskan cerita itu ke si C. Si C yang mendengar dan merasa ada bagian yang kurang dari cerita itu pun memberi masukan kepada si A.” Proses-proses pembelajaran semacam ini yang pada akhirnya menjadi praktik produksi pengetahuan tentang skena yang muncul dari sebuah interaksi dalam gigs pada umumnya dan lapak pada khususnya. Pengetahuan inilah yang menambah “nilai” lebih di luar nilai ekonomis pertukaran barang. Pengalaman saling tukar pengetahuan inilah yang senantiasa mendorong para pelaku untuk secara aktif bersama-sama menguatkan aspek atmosfer kesetaraan dan keterbukaan yang hadir di lapak.

Produksi-reproduksi pengetahuan yang dilakukan secara bersama dan diakses bersama akan memotivasi orang yang ingin tahu tentang skena musik di Yogyakarta untuk terus mengelolanya dan menjaga keutuhan nilai yang mereka yakini. Kondisi ini juga mampu untuk mengundang wajah-wajah baru yang tidak dapat dipungkiri akan terus menerus datang baik untuk waktu yang singkat ataupun lama.

Berbagai perilaku di ataslah yang pada akhirnya mendukung dan mensahihkan keberadaan sebuah lapak dalam gigs. Interaksi yang berkembang menjadi ruang, ruang yang berhasil memunculkan informasi dan pengetahuan, pengetahuan yang menjadi sebuah nilai yang diyakini bersama. Inilah yang pada akhirnya memunculkan satu signifikansi sekaligus menunjukkan eksistensi sebuah lapak dalam skena dan bagaimana lapak itu berpengaruh, khususnya dalam skena musik di Yogyakarta.

Lapak sebagaimana menjadi bagian dari manusia dan kebudayaannya memang akan senantiasa terus berkembang. Saya sebagai pelapak yang bercerita tentang lapak dalam tulisan ini barangkali hanyalah menjadi sebuah bagian kecil dari sebuah praktik besar skena musik. Apa yang saya tulis bisa saja memunculkan pertanyaan lebih lanjut akibat kecenderungan subyektivitas saya, ataupun bagian-bagian lain yang belum tersingkap dengan jelas. Atau barangkali saja ini berlebihan? Hal ini selanjutnya yang mungkin bisa kita saksikan dalam perkembangannya, dan selalu memberikan peluang-peluang untuk suatu praktik produksi-reproduksi pengetahuan bersama baru tentang skena musik di Yogyakarta. Komoditas yang mampu menciptakan sebuah kehidupan sosial serta nilai, lalu bagaimana strategi dan siasat pengelolaan dari para pelakunya, untuk senantiasa selalu ditawarkan dan dilakukan dalam skena musik di Yogyakarta yang terus berkembang.

Biografi Penulis:

Bagus Anggoro Moekti adalah alumni dari Jurusan Antropologi Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Saat ini menjalani hari dengan menjadi staf dari KUNCI Cultural Studies Center dan pengelola Yesnoshop, sebuah record store kecil yang juga merupakan toko resmi untuk produk-produk keluaran netlabel Yesnowave.com. Memiliki minat terhadap perkembangan skena musik terutama di Yogyakarta dan aktif di beberapa kelompok belajar seperti “Bakudapan Food Study Group”, “Retas Sejarah”. Bersama rekan-rekan penggiat record store di Yogyakarta baru saja membentuk “Jogja Record Store Club”, sebuah kolektif yang mewadahi record store dan membagikan informasi seputar skena musik dan rilisan fisik.

Referensi:

  • Ahimsa-Putra, H. S. (2000). Wacana Seni Dalam Antropologi Budaya: Tekstual, Kontekstual dan Post-Modernistis. Dalam Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta: Galang Press.
  • ______ (2001) Strukturalisme Levi’s Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press.
  • ______ (2005). Tanda:Semiotika:Simbol:Hermeneutika. Makalah dalam bedah buku Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, diselenggarakan oleh LPPM Sintesa – Fisipol, UGM, Yogyakarta, 21 Mei.
  • ______ (2007). Mengapa “Teks”?: Teks dan Film dalam Antropologi. Makalah dalam Prasarasehan IX Jaringan Kekerabatan Antropologi Indonesia (JKAI), Antropologi Visual Sebagai Alternatif Deskripsi Kebudayaan, Fakultas Ilmu Budaya, UGM, Yogyakarta.
  • Anderson, B. (2002). Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang. Yogyakarta: Insist Press.
  • Appadurai, A. (Ed.) (1986). The Social Life Of Things: Commodities In Cultural Perspective. New York: Cambridge University Press.
  • Clayton, M., Herbert, T., & Middleton, R.(Ed.) (2003) The Cultural Study Of Music: A Critical Introduction. New York: Routledge.
  • Dant, Tim (2005) Materiality and Society. New York: Open University Press.
  • Ellis, C. & Bochner, A.P. (Ed.) (1996). Composing Ethnography: Alternative Forms of Qualitative Writing. London: Sage Publications.
  • Emerson, R M., Fretz R. I., & Shaw L.L. (2011). Writing Ethnographic Fieldnotes: Second Edition. Chicago: The University Of Chicago Press.
  • Hall, S. et al. (Ed.) (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London: Sage Publications.
  • Luvaas, B. (2012). DIY Style: Fashion, Music And Global Digital Cultures. London: Berg.
  • Miller, D. (Ed.) (2001). Material Cultures: Why Some Things Matter. London: UCL Press Limited.
  • Roosa, J. dan Ratih A. (2008). Sejarah Lisan di Indonesia dan Kajian Subyektivitas. Dalam Henk S. Nordholt dkk. (Ed.): Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Hoboken: Yayasan Obor Indonesia – KITLV.

 

Buletin, Jurnal dan Majalah:

  • Kunci. Edisi 4, Maret 2000.
  • Kunci. Edisi 15, November 2005.
  • Wacana. Volume 4 No. 01, April 2002.

Catatan Kaki:

*Tulisan ini dalam versi cetak sudah diterbitkan dengan judul yang sama dalam Hermiasih,  L. (Ed.) (2016) Ensemble: Mozaik Musik dalam Masyarakat. LARAS-Tan Kinira. hal.83-101.

[1] Dalam kehidupan sehari-hari (yang mungkin anda juga sering menemui), ada orang yang merepresentasikan dirinya baik secara visual maupun ideologi melalui musik. Dapat kita lihat melalui cara berdandan, gaya hidup, pemikiran hingga ke pergaulan sehari-hari. Misalnya, saya memiliki teman yang setiap hari berdandan dengan gaya metal lengkap dengan atribut dan aksesorisnya, memiliki pengetahuan luas tentang musik metal dan bahkan memiliki sebuah band metal.

[2] Distribution Outlet

[3] Lebih lanjut baca “The Social Life of Things; Commodities in Cultural Perspective”. Arjun Appadurai (ed). Cambridge University Press, 1986.

[4] “Sebuah rezim nilai, dalam konteks ini, dilakukan oleh pihak-pihak yang berbagi dengan standar nilai yang sangat rendah ataupun sangat tinggi dalam bertukar barang. Rezim nilai kadang telah melampaui ikatan budaya akibat peredaran barang yang ada, dimana budaya disini dibatasi oleh pengertian-pengertian yang dibangun sendiri” (Appadurai, 1986:15)”

[5] Lebih lengkapnya silahkan bidik ulasan dari Ahimsa-Putra (2000, 2001, 2005, 2007) serta Hall, et al (1997).

[6] Tentang intersubyektivitas, lebih lanjut baca “Sejarah Lisan di Indonesia dan Kajian Subyektivitas” John Roosa dan Ayu Ratih (2008) dan “Composing Ethnography; Alternative Forms of Qualitative Writings” Carolyn Ellis dan Arthur P. Bochner (ed.) (1996).

[7] Adalah salah seorang teman nongkrong di Semesta Cafe, Kotabaru, Yogyakarta bernama Adi Adriandi (manajer Frau) yang saat itu mengajak saya. Begini ajakannya: “Gus, kowe selo to? Sesok pas launching albume Frau aku direwangi yo.” (Gus, kamu senggang kan? Besok saat launching album Frau aku dibantu ya.) Yang ternyata pada saat hari H saya kebagian tugas menjaga lapak untuk berjualan merchandise serta album baru Frau dan sekaligus melayani pembeli.

[8] www.kbbi.web.id diakses pada 27 Maret 2015. Versi cetak bisa dilihat pada “Kamus Besar Bahasa Indonesia” Edisi Keempat. Departemen Pendidikan Nasional, 2008.

[9] www.en.wikipedia.org/wiki/Gig_(music) diakses pada 26 Maret 2015.

[10] www.urbandictionary.com diakses pada 26 Maret 2015.

[11] Dari wawancara terbuka dengan Indra Menus, 16 Januari 2015.

[12] Dari amatan saya, ada perilaku konsumen yang memiliki rasa malas dan enggan untuk mampir ke toko, namun lebih memilih untuk membeli barang langsung di lapak. Pemerataan barang yang saya maksud di sini adalah kondisi dimana barang yang dijual dapat dilihat ataupun dibeli oleh seluruh calon konsumen tanpa harus dibatasi toko.

[13] Toko yang tidak memiliki toko fisik. Memanfaatkan internet sebagai media dan sarana untuk mempublikasikan diri serta berjualan dan melakukan transaksi.

[14] Demajors Independent Music Industry atau yang akrab disebut Demajors adalah salah satu label rekaman dan distribusi rilisan fisik berasal dari Jakarta, berdiri pada 2006.

[15] Dari wawancara terbuka dengan Triaman “Sambrenk”, 23 Januari 2015.

[16] Dari wawancara terbuka dengan Adelina Maryam (Adel), 20 Januari 2015.

[17] Keberadaan yang saya maksud di sini adalah nama dari institusi yang mereka bawa, serta nama pelapak itu sendiri.

[18] Dari wawancara terbuka dengan Indra Menus, 16 Januari 2015.

[19] Dari wawancara terbuka dengan Adelina Maryam (Adel), 20 Januari 2015.

[20] Dari wawancara terbuka dengan Adit “Arpappel”, 27 Januari 2015.

[21] Last.fm adalah sebuah sosial media berbasis musik yang berdiri pada 2002 di Inggris, dimana di dalamnya para pengguna bisa memasukkan daftar lagu kesukaan masing-masing dengan membuat semacam daftar lagu; baik itu dari internet, radio, ataupun alat pemutar musik portabel seperti handphone, iPod, dan iPad.

[22] Dari wawancara terbuka dengan Gisela Swaragita (Gisa), 10 Februari 2015.