Oleh: Thomas Stodulka, Ferdiansyah Thajib, Samia Dinkelaker.

(click here for English version)

Buah kolaborasi antara KUNCI Cultural Studies Center dan tim riset dari FU Berlin, Jerman dan University of Berne, Swiss, ini menargetkan pelatihan para peneliti dan aktivis muda dalam riset lapangan dan penulisan etnografis. Angkatan 2015 terdiri dari dua peneliti sastra dan seorang primatolog dari Jerman dan Swiss, serta dua mahasiswa fotografi dan satu orang dengan latar belakang pendidikan antropologi dari Indonesia.

Sebagai penyelenggara dan fasilitator dari keseluruhan proses yang berlangsung selama satu tahun penuh ini, kami berasumsi bahwa pendekatan yang berimbang dalam mendeskripsikan kehidupan orang lain tanpa ‘beban’ pelatihan antropologis (misalnya harus mengacu pada gaya disiplin ilmu dan generalisasi tertentu, inter-subyektifikasi, dan menyamarkan emosi dan pengalaman si etnografer sendiri melalui cara mengambil jarak ala empirisme tradisional yang sudah cukup populer) pada peneliti dari disiplin ilmu lain dapat membuka akses yang lebih fleksibel dalam mengintegrasikan afektivitas dan subyektivitas ke dalam deskripsi etnografis mereka. Kami cukup terkejut saat mendapati bahwa ternyata bagi para non-antropolog, yang diundang dalam kesempatani ni untuk bereksperimen dengan melakukan pendekatan dan cara-cara penulisan yang metodis dengan mengintegrasikan perasaan mereka mereka, atau secara lebih luas lagi pengalaman mereka sendiri ke dalam amatan etnografis mereka tentang yang Liyan. Sebaliknya, selama berlangsungnya lokakarya Ethnolab, kami bisa menangkap kesan bahwa bagi para peserta, dengan adanya para antropolog sebagai pembimbing bisa memunculkan kecemasan tambahan karena menyiratkan suatu tekanan disipliner. Para peserta tidak hanya harus berurusan dengan tuntutan dari kerja lapangan yang, sebagaimana kita ketahui, melelahkan secara fisik, intelektual dan psikologis. Mereka juga harus menghadapi tantangan sehari-hari dalam berurusan dengan lingkungan baru, iklim, pentingnya mencari kenalan baru dan perlunya menyesuaikan sensibilitas mereka terhadap perbedaan sosial dan budaya, dan suasana penginapan di mana ketiga peserta berbagi tempat tinggal dengan dua fasilitator sebaya mereka.

Image: Mira Shah

Pemandangan satu sudut kota Yogya, dok.: Mira Shah

Sudah barang tentu ada beberapa perbedaan kualitatif antara peserta yang baru saja datang ke Indonesia untuk pertama kalinya dan mereka yang berasal dengan tempat ini. Namun mereka sama-sama dihadapkan dengan keterbatasan waktu kurang dari sebulan yang jika dibandingkan dengan durasi konvensional lapangan kerja etnografi bisa mencapai beberapa bulan atau bahkan tahunan. Sebagai penyelenggara, kami mencoba mengantisipasi keterbatasan waktu ini dengan menyederhanakan target kegiatan dan juga lingkup Ethnolab sebagai satu simulasi dari praktik etnografi. Dalam seting ini, hasil yang diharapkan tidak terlalu difokuskan pada analisis definitif dari fenomena yang dipelajari tapi lebih ke soal mengenalkan para peserta dengan dimensi afektif dalam interaksi di riset lapangan serta batas-batas dan kemungkinan tindakan interpretatif dalam penulisan etnografi. Kami ingin berhenti sejenak di sini dan menyampaikan salut kepada para kolega kami!

Serupa dengan praktik-praktik para antropolog, dimensi afektif dalam mengalami bidang kajian baru jarang disebut secara eksplisit dalam tulisan-tulisan etnografis para peserta. Mereka tetap ‘di balik layar’ atau ‘topik sekunder’ yang didiskusikan selama lokakarya bersamaan dengan tantangan dalam metodologi, atau bahkan dalam kesempatan perbincangan informal seperti saat sarapan, makan siang atau makan malam. Hal ini awalnya cukup mengejutkan karena enam peserta didorong untuk menggunakan buku harian emosi semi-terstruktur untuk mencatat dan selanjutnya memahami pengalaman afektif mereka selama riset lapangan dalam kaitannya dengan data yang lebih ‘deskriptif lainnya’. Selama proses pengulasan multibahasa dari enam ‘etnografi mini’ ini kami menyadari bahwa para non-antropolog sepertinya memiliki kesulitan yang sama dengan kami, dan juga dengan banyak rekan antropolog lainnya, begitu si peneliti lapangan masuk ke tahap mengolah emosi yang alami menjadi perangkat analisis atau cara-cara alternatif dalam memproduksi pengetahuan, serta menerjemahkan dan merepresentasikannya ke dalam bentuk tulisan. Kegelisahan untuk hanya menghasilkan kisah-kisah pengakuan (alih-alih berupa penjelasan-penjelasan yang punya kekuatan analitis dan retoris) dan ketakutan akan tereksposnya diri si peneliti kepada para calon pembaca dan teman dekat, para informan, rekan penelitian, kolega dan pembimbing penelitian sepertinya menjadi force majeur (akademis) yang menghalangi cara-cara analisis, representasi dan penulisan yang jauh lebih relasional dan afektif.

Dokumentasi mengenai emosi di lapangan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya etnografis sejak awal mulanya (Boas 1920; Malinowski 1922). Tantangan yang lebih besar adalah bagaimana mendorong pengalaman-pengalaman afektif yang muncul dari, dan berpengaruh pada, perjumpaan kita dengan orang-orang yang kita teliti sebagai kumpulan data yang sistematis, yang memberikan nuansa penubuhan dan sensorik pada pengetahuan antropologis.

Semua peserta mengarungi bidang ketertarikan mereka masing-masing dan sangat berkomitmen dalam berpartisipasi dan mengamati berbagai peristiwa, percakapan dan interaksi tertentu, atau nongkrong pada umumnya, di mana sepertinya tidak ada yang terjadi sampai seusatu benar-benar terjadi, semua di saat yang bersamaan. Kadang mereka turun ke lapangan sendiri, kadang ditemani dengan rekan peneliti, asisten, penerjemah atau informan utama. Selain itu para peneliti yang sangat berkomitmen dari ragam disiplin ilmu ini melakukan pencatatan di lokasi, menulis buku harian, melakukan wawancara semi-terstruktur yang direkam, dan ‘percakapan informal’ yang didokumentasikan di sesi-sesi malam hari lewat protokol ingatan. Selain cara-cara tradisional ini, satu peneliti menggunakan buku harian emosi, dan dua lainnya menggunakan skala emosi kuantitatif untuk mencatat disposisi afektif mereka hampir setiap hari. Tiga peserta melakukan penulisan ringkasan reflektif setelah riset lapangan dalam upaya merefleksikan bias penelitian yang beragam dan mendiskusikannya dengan kelompok yang lebih besar. Kami bisa menyaksikan berbagai proses refleksi diri yang lebih tersirat ketimbang apa yang diutarakan secara eksplisit lewat berbagai kontribusi yang dimuat dalam blog ini.

C360_2015-01-29-13-46-36-587

Suasana sesi presentasi akhir di SaRanG Building, dok.: KUNCI.

Antropolog menyadari dampak penting dari subyektivitas, posisionalitas dan posisi emosional mereka sendiri di mana mereka belajar dan menulis tentang orang-orang, komunitas, ruang atau fenomena lain. Ethnolab mengungkapkan hal penting lainnya. Perspektif komparatif terhadap beragam peneliti akademik dan non-akademik yang berpartisipasi dalam lokakarya menunjukkan dengan terang bahwa tiap disiplin ilmu yang berbeda menghasilkan gaya yang dan kreativitas yang sangat berbeda pula dalam mengamati mereka yang tadinya dianggap ‘Liyan yang asing’. Perbedaan ini juga tercermin pada strategi yang mereka kerahkan dalam mengatasi tantangan yang berhubungan dengan lapangan dan cara-cara mereka disampaikan lewat tulisan. Kami bertanya-tanya, apakah Anda, para pembaca yang budiman bisa menebak pelatihan disiplin ilmu tertentu ‘di balik teks’, apabila Anda tidak memeriksa profil-profil penulisnya?

Tidak kalah menarik, etos lintas-disiplin dan keterbukaan yang ditekankan dalam Ethnolab serta keterlibatan kritis dengan beragam ‘Liyan’ (dalam hal lokalitas, iklim, budaya, gender, status, pendidikan dan seterusnya) tidak hanya meningkatkan rasa hormat dan daya tarik dari ‘yang lain’, tapi juga memupuk kepercayaan diri dalam memilih jalur akademik atau non akademik yang paling sesuai dengan preferensi dan kepribadian kita. Untuk saat ini, kami bisa menyatakan bahwa cukup inilah hasil yang terbaik yang bisa kita capai, agar kita dapat melanjutkan untuk memikirkan secara terbuka dan bersama-sama mengenai pertanyaan, ‘Bagaimana cara melakukan refleksivitas-diri secara sistematis, transparan, dan komprehensif tanpa harus takut dengan mereka ‘yang liyan’?’

Tentang Penulis:

Dr. Thomas Jan Stodulka adalah peneliti di Institute of Social and Cultural Anthropology, Freie Universität Berlin, Jerman. Fokus penelitiannya adalah tentang emosi, stigma, marjinalitas, kesehatan dan penyakit. Kerja lapangan jangka panjangnya (sejak 2001) dengan anak-anak, remaja, dan lelaki muda di jalan di Yogyakarta, Indonesia diterjemahkan ke dalam artikel-artikel yang diulas sesama dan monografi Coming of Age on the Streets of Java (segera terbit). Ia adalah ko-editor buku Feelings at the Margins – Dealing with Violence, Stigma and Isolation in Indonesia (2014, Campus), dan sekarang ia menjadi pemimpin proyek riset lintas-disiplin tentang produksi pengetahuan etnografis berjudul ‘The Researchers’ Affects’.

Ferdiansyah Thajib  adalah anggota KUNCI Cultural Studies Center, kelompok transdispliner yang berbasis di Yogyakarta, Indonesia yang pembentukannya dilandasi oleh afinitas pada eksperimentasi kreatif dan kajian spekulatif tentang pertemuan antara teori dan praksis.  Ia sekarang menjadi kandidat Doktor di Institute for Social and Cultural Anthropology, Freie Universität Berlin, Jerman. Ia juga peneliti DAAD untuk proyek ‘The Researchers’ Affects’. Kini ia sedang menggunakan metode etnografi untuk mengkaji bentuk-bentuk afektif dalam kehidupan politik dan kultural, khususnya dalam kaitannya dengan isu queer dan kebersamaan.

Samia Dinkelaker sekarang adalah kandidat Doktor yang sedang mengarap tesisnya yang berjudul Becoming a domestic worker. An ethnography of the export of Indonesian migrants to Hong Kong. Ia memegang gelar Master dalam Ilmu Politik dan kini tergabung di Institute for Migration Research and Intercultural Studies di Osnabrück University. Dalam kolaborasinya bersama rekan-rekannya di proyek ‘The Researchers’ Affects’ ia mengamati peran emosi dalam pengumpulan data dan penulisan etnografis. Ia juga mengeksplorasi bagaimana ia dapat menyertakan refleksi tentang pengalaman inter-afektifnya di lapangan ke dalam risetnya.

Referensi:

  • Boas, F. (1920). The Methods of Ethnology. American Anthropologist, 22 (4) , 311-321. American Anthropological Association.
  • Malinowski, B. (1922). Argonauts of the Western Pacific: An account of native enterprise and adventure in the archipelagoes of Melanesian New Guinea. London: G. Routledge & Sons.