Fotografi adalah praktik dokumentasi yang cukup populer saat ini, orang dengan semakin mudah memanfaatkan fotografi sebagai cara untuk mengabadikan momen tertentu yang dirasa cukup penting. Sejak diawali pertama kali oleh Kasian Chepas di Indonesia zaman pra-kemerdekaan sampai dengan baru-baru ini ketika praktik fotografi analog mulai beralih ke digital, aktivitas ini selalu dilekatkan oleh banyak kalangan masyarakat dengan nilai gengsi. Melalui dokumentasi foto orang berupaya mengabadikan momen-momen tertentu dalam hidupnya. Pada era analog, fotografi sendiri memang dianggap bergengsi karena harga peralatannya yang cukup mahal jika dibandingkan dengan taraf perekonomian masyarakat Indonesia di masa itu. Selain harga kamera, proses reproduksi foto itu sendiri cukup pelik (misalnya teknik kamar gelap) dan hanya segelintir yang berhasil mendapatkan nama sebagai seorang juru foto profesional karena teknik pengolahnnya yang membutuhkan ketrampilan khusus.
Pendokumentasian visual menjadi strategi yang populer bagi orang banyak karena keterbatasan ingatan dalam merekam peristiwa dan realitas yang berlangsung. Dan di sini fotografi berperan dalam mengabadikan momen-momen penting dalam kehidupan. Foto menjadi media merujuk kembali peristiwa-peristiwa yang sudah berlalu dan bisa dimaknai di masa kini dan masa depan. Dalam konteks keluarga, foto menjadi sarana yang menciptakan kedekatan melalui pewarisan ingatan bersama. Dalam unit sosial terkecil tersebut, foto dapat menghubungkan komunikasi antar generasi yang mungkin sudah dipisahkan oleh jarak dan waktu (karena perpindahan, kematian dan lainnya) dengan memberikan gambaran tentang beragam peristiwa yang menghantarkan satu individu ke situasinya sekarang.
Dari pengalaman saya sehari-hari mengamati lingkungan sekitar, saya melihat ada beragam hasrat, perilaku dan strategi yang melatari orang ketika mengumpulkan, menyusun dan menampilkan foto keluarga. Cara-cara yang berbeda ini jelas punya alasan dan latar belakangnya tersendiri. Perbedaan ini mungkin bisa dijelaskan lewat selera dan keunikan individu. Alasan lain juga bisa dibedakan dari sarana yang mereka miliki dan gunakan dalam mengumpulkan foto: mulai dari album foto, pigura, dan lainnya. Di era digital ini, semakin banyak pula orang yang memamerkan foto mereka di media sosial. Namun demikian, saya melihat ada pola atau logika penataan, penyusunan dan penyajian koleksi foto yang khas di masing-masing keluarga yang tidak hanya bisa diuraikan hanya karena faktor selera dan keunikan pribadi maupun dijelaskan melalui aspek praktisnya. Saya tertarik tentang bagaimana orang melekatkan nilai emosi dan kedekatan tertentu pada foto-foto yang mereka kumpulkan. Kebanyakan orang mungkin menganggap ini yang dinamakan sebagai alasan sentimental. Namun di tulisan yang disiapkan untuk kepentingan Ethnolab ini, saya ingin mengurai lebih jauh apa yang dianggap oleh banyak orang sebagai sentimental ini. Makna apa yang diciptakan atau disampaikan orang dalam mengarsipkan koleksi foto keluarganya? Bagaimana praktik pengarsipan itu sendiri berpengaruh terhadap makna yang diciptakan? Dan terakhir bagaimana hubungan antara makna foto dan pengarsipan ini berpengaruh pada pemahaman si pelaku mengenai dirinya sendiri dalam relasinya dengan keluarga?
Catatan tentang Metode Penelitian
Ketertarikan saya pada arsip foto keluarga muncul setelah melakukan riset pendahuluan seputar pola pengarsipan di dunia fotografi. Saya menemukan beberapa perbedaan apa yang menyebabkan pola pendokumentasian arsip keluarga menjadi lebih menarik dibanding pola pendokumentasian arsip fotografi yang misalnya dilakukan oleh institusi atau lembaga resmi. Perbedaan ini utamanya dilatari nilai personal yang dilekatkan ke arsip foto keluarga ketimbang di lembaga. Setiap keluarga punya cara pandang yang berbeda atas foto, dan apa yang ditampilkan sedikit banyak berpengaruh pada citra atau status keluarga yang berkepentingan di lingkungan sosial yang lebih luas. Misalnya pemajangan dokumentasi foto yang akan memikirkan mana yang terlihat baik atau mana yang terlihat kurang tepat untuk dilihat orang dan pemilihan arsip foto mana yang perlu dilestarikan agar ingatan tentang satu keluarga tetap langgeng.
Dari landasan inilah saya memilih keluarga sebagai subjek yang saya angkat. Hal ini saya lakukan dengan melakukan pendekatan personal dengan beberapa individu di lingkungan saya guna mendengarkan narasi apa yang dibangun dari arsip foto yang ia miliki, baik melalui wawancara tidak terstruktur maupun percakapan informal yang saya lakukan selama kurang lebih 2 bulan di kota Yogyakarta.
Arsip Foto Keluarga sebagai Media Pewarisan Ingatan
Bu Ina adalah informan pertama saya, dia tinggal tepat di samping rumah yang saya sewa. Saya sudah mengenalnya lebih dari tiga tahun ini. Satu minggu sejak awal saya berkenalan, Bu Ina mulai bercerita pada saya tentang isu personal dan keluarganya. Hal ini cukup mengejutkan saya di awal, karena status saya sebagai mahasiswa dan Bu Ina yang ibu rumah tangga, di lingkungan lain mungkin tidak akan berkembang semulus dan secepat itu. Kedekatan yang terbangun di antara kami setelah tiga tahun menjalin hubungan bertetangga sudah menyerupai hubungan antara ibu dan anak.
Pertama kali saya berkunjung ke rumah Bu Ina untuk kepentingan riset ini saya berencana untuk mengajaknya berbicara tentang arsip foto yang ia miliki. Dalam kesempatan itu ia bercerita pada saya tentang isu perebutan hak waris di keluarganya. Di situ pula ia bercerita tentang sejarah rumah yang ia tempati, dan secara tidak langsung Bu Ina menyampaikan bagaimana ia mengolah dokumentasi foto yang dimilikinya. Bu Ina mendiami rumah yang dulunya merupakan rumah utama bagi keluarga besarnya. Orang tua Bu Ina hidup dan meninggal di rumah yang sama. Seperti yang dijelaskan Bu Ina ke pada saya, penunjukan dirinya sebagai pewaris rumah yang ia tinggali sekarang terkait dengan kepercayaan tradisi orangtuanya, yang beranggapan bahwa sebagai anak bungsu perempuan, Bu Ina diharapkan untuk tidak tinggal jauh dari orangtuanya.
Posisi tersebut membuat Bu Ina menjadi sulit karena harus berurusan dengan saudara kandungnya yang lain yang juga menginginkan hak waris yang sama. Di sisi lain Bu Ina sebagai pihak yang menerima warisan orang tua merasa bahwa sudah menjadi tanggungjawabnya untuk menjaga rumah sebagai amanat dan peninggalan dari orang tuanya. Selain rumah, Ibu Ina juga mewarisi dokumen-dokumen berharga seperti surat hingga dokumentasi foto milik keluarga besar. Bu Ina juga menyampaikan bahwa ia lebih memilih untuk mendedikasikan dirinya untuk keluarga sehingga ia memutuskan untuk tidak meneruskan sekolahnya ke jenjang perguruan tinggi agar bisa bekerja dan mendapat penghasilan. Pekerjaan yang ia lakukan juga kebanyakan hanya dilakukan setengah hari, karena sisanya ia habiskan bersama almarhum Ibunya. Tugas ini ia lakukan sendirian mengingat saudaranya yang lain bekerja penuh dan merantau jauh dari Ibu. Karena kesibukannya mengurus rumah tangga Bu Ina merasa tidak memiliki cukup waktu untuk mengikuti perkembangan teknologi dalam soal fotografi. Yang ia tahu foto adalah penting sebagai rekaman soal momen atau sebuah peristiwa yang tidak mungkin terulang lagi. Untuk itu merekam peristiwa-peristiwa yang dianggap penting tersebut ke dalam foto, Bu Ina biasanya menyewa jasa fotografer lokal.
Setiap orang punya perbedaan dalam menilai mana peristiwa yang penting atau tidak dalam hidupnya. Ada yang melihatnya secara detil dengan memotret perkembangan dari hari ke hari. Sementara Bu Ina memahami bahwa nilai penting sebuah foto ada pada peristiwa yang berhasil ia tangkap lewat bantuan kamera. Yang utama adalah wajah serta sosok yang dihadirkan lewat foto, sementara baginya latar atau background bukanlah hal yang terlalu penting. Bagi Bu Ina, ingatan tentang lokasi dan tempat foto tersebut diambil tidaklah sepenting ingatan mengenai orang yang menjadi subjek dalam foto.
Pentingnya ingatan tentang orang dan hubungan yang ia miliki dengan orang-orang yang ada di foto sebagian disebabkan oleh isu konflik keluarga yang dialami oleh Bu Ina. Hal ini juga yang mempengaruhi cara Bu Ina dalam menyimpan dan menyeleksi arsip foto. Ia menaruh koleksi potret keluarganya di ruang-ruang yang cukup ‘tidak biasa’, jika dibandingkan di rumah-rumah tangga yang saya jumpai pada umumnya. Alih-alih dipajang di ruang tamu agar dapat dilihat oleh mereka yang bertamu ke rumahnya, Bu Ina menyimpan arsip fotonya di dalam lemari kamar tidurnya atau di ruang makan. Sesekali jika ia dikunjungi oleh orang yang dianggapnya cukup dekat, ia akan mengeluarkan arsip fotonya dan memperlihatkannya pada mereka. Lokasi arsip foto yang tidak diletakkan di ruang tamu juga menjadi caranya dia untuk menghindar dari potensi konflik dengan anggota keluarganya yang lain, karena ia tidak ingin membuat saudara-saudaranya mengingat tentang status Bu Ina sebagai satu-satunya anak yang mewarisi dokumen-dokumen serta arsip foto dari mendiang orangtuanya.
Arsip Foto sebagai Media Ekspresi Diri
Yudha adalah seniman yang bekerja dengan foto. Ia seringkali menggunakan intuisinya dalam mengambil gambar sebagai bagian dari ekspresinya dalam berkarya seni. Yudha mengandalkan kekuatan fotografi untuk merekam segala hal yang menurutnya menarik untuk didokumentasikan. Ia juga menggunakan media sosial untuk memajang koleksi foto yang ia dokumentasikan.
Dalam pameran hasil residensinya di Rumah Seni Cemeti pada awal Desember 2015 ia menunjukkan bagaimana sebuah kolase foto dapat menarasikan satu cerita tanpa menampilkan subjek fotonya secara utuh. Dengan mengemasnya ke dalam bentuk karya seni dan memajangnya di galeri, bisa dikatakan bahwa ini merupakan upaya kreatif Yudha dalam membagikan sesuatu yang sifatnya privat ke dalam bentuk publik. Foto yang dipamerkannya tidak sekedar merepresentasikan apa yang ditampakkan dalam gambar, namun juga menciptakan kesan tentang dunia yang lebih luas dari diri si subjek dengan membubuhkan jejak-jejaknya pada karya tersebut.
Sebelum pameran ini digelar, saya berkesempatan mewawancara Yudha. Hal ini didorong oleh keingintahuan saya soal bagaimana ia memperlakukan arsip fotonya. Sehari-hari, Yudha cukup gemar merefleksikan situasi kehidupannya untuk memperkaya praktik seninya. Sejak 2005 Yudha merantau ke Yogyakarta dari Temanggung, kota kecil di Jawa Tengah di mana ia dibesarkan dan sejak itu pula ia hidup terpisah dari orangtuanya. Yudha bercerita bahwa kedekatannya dengan fotografi dimulai sejak ia kecil karena ayahnya sempat membuka studio foto dan berprofesi sebagai fotografer. Dengan ketrampilan dasar fotografi yang ia dapatkan dari ayahnya, ia pun memilih untuk menempuh jenjang pendidikan formal di bidang fotografi. Sejak berpindah ia juga mulai merawat koleksi fotonya dan menyusunnya sebagai arsip yang bisa ia buka kembali dan gunakan.
Yudha pernah membuat seri karya foto tentang keluarganya yang ia beri judul ‘family portrait’. Melalui seri ini ia menjadikan kedua orang tuanya sebagai subjek. Dalam foto tersebut Yudha juga menggunakan rumah tempat ia dibesarkan sebagai latar dan ia juga menjadikan dirinya sebagai salah satu subjek dalam foto. Selain karyanya itu, ia juga pernah membuat seri foto yang memuat interpretasi mimpi yang pernah ia alami dengan menggunakan berbagai objek pilihan. Ia menceritakan bahwa “Sebenarnya arsip foto yang saya miliki adalah bonus. Saya mengawalinya dengan mendokumentasikan dan menjaganya dengan baik lalu foto dokumentasi itu berubah menjadi arsip dengan berjalannya waktu.”
Hasil cetakan foto yang dikoleksinya ia simpan di dalam album foto. Setelah itu ia memindainya satu per satu ke dalam bentuk digital karena baginya dengan bentuk ini koleksi fotonya lebih terjamin keawetannya jika dibandingkan dengan bentuk fisik atau analog. Selain menggunakan teknologi scanning, ia juga menggunakan media sosial untuk menyimpan foto-foto tersebut. Ia memotret lalu mengunggahnya ke dalam media sosial. Hal ini ia lakukan karena dengan begitu koleksi dan arsip fotonya bisa diakses oleh lebih banyak orang. Dengan menyimpannya di ruang virtual Yudha juga ingin memanfaatkan peluang internet sebagai tempat penyimpanan data visual yang sifatnya tanpa batas. Dengan demikian ia bisa mengakses koleksi fotonya kapapun ketika dibutuhkan, selama ia masih terkoneksi dengan jejaring internet. Mengenai resiko bahwa koleksi fotonya akan terpublikasikan ke banyak orang yang tidak ia kenal di internet, Yudha menyatakan bahwa ia tidak punya kekhawatiran khusus. Baginya sejauh akun media sosial yang ia miliki adalah akun pribadi maka foto-foto yang ia unggah mutlak masih menjadi miliknya.
Kesimpulan
Dari pola pengoleksian dan pengarsipan foto yang dilakukan Bu Ina dan Yudha, kita bisa melihat dua pendekatan yang berbeda atas apa yang dipahami sebagai privat dan publik. Kedua sudut pandang ini juga mewakili perbedaan cara dalam memaknai subjek dan kisah yang direpresentasikan dalam foto. Dalam kasus Bu Ina, nilai penting foto ditekankan pada momen-momen yang secara subyektif dianggap dapat menggambarkan ikatan emosi dan aspek tradisi yang diwariskan di keluarganya secara lintas generasi. Bu Ina tidak berhasrat untuk menunjukkan koleksinya ini ke banyak orang karena ia melihat foto sebagai media personal yang hanya perlu dibagikan ke lingkungan terdekat.
Sedangkan dengan mengangkat keluarga sebagai tema, Yudha memaknai objek fotografi dan momen-momen emosional di keluarganya sebagai bagian dari ekpresi keseniannya. Dengan demikian dalam mengoleksi dan mengarsipkan fotonya sebagai sumber inspirasi baginya dalam berkarya maupun objek karya seni itu sendiri dilatari oleh hasrat untuk bercerita atau menarasikan ke orang lain, sebagai upayanya dalam mengaktualisasikan diri. Dalam konteks ini, nilai privat atau publik dari arsip foto Yudha sudah tidak begitu ditekankan karena baginya momen-momen yang ada dalam foto itu sendiri sudah menjadi bagian dari dirinya sendiri, sebagai memori yang tidak akan punah meskipun sudah dilihat oleh banyak orang.
Biografi Penulis:
Gatari Surya Kusuma lahir di Pasuruan, Jawa Timur. Kini tinggal di Yogyakarta untuk belajar Fotografi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Ia juga punya ketertarikan dengan perspektif etnografis dalam melakukan kerja-kerja fotografi.