Membicarakan tentang kampung selalu berkaitan dengan keberadaan kota. Kampung dan kota merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Kota adalah selubung ideologis. Perencanaan kota dengan tipologi dan morfologinya merupakan representasi sebuah rezim yang menaunginya (Erlangga 2011). Sedangkan kampung adalah kelompok rumah yang merupakan bagian kota (biasanya dihuni orang yang berpenghasilan rendah). Kota Yogyakarta sendiri secara kewilayahan memiliki 14 Kecamatan, 45 Kelurahan dan 144 Kampung. Ratusan kampung yang tersebar di Kota Yogyakarta merupakan kampung-kampung yang sudah berusia telah cukup tua. Dari ratusan kampung lama tersebut di daerah timur laut Kota Yogyakarta ada sebuah kampung yang relatif masih baru, yaitu Kampung Ledhok Timoho. Kampung ini terletak di bantaran sungai Gajah Wong, dan berada “di balik” perumahan elit. Usia kampung ini memang jauh lebih muda apabila dibandingkan dengan kampung-kampung lainnya di Kota Yogyakarta, karena Kampung Ledhok Timoho ini baru mulai terbentuk pada 1995.
Kota Yogyakarta menyaksikan perkembangan yang cukup pesat dengan banyaknya pendatang dan pembangunan properti rumah tinggal dan hotel. Hal ini mengakibatkan semakin minimnya lahan huni di kawasan kota Yogyakarta. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan kota, kampung Ledhok Timoho ini juga dituntut untuk terus mengikuti gerak perubahan. Lokasi geografis Ledok Timoho sendiri yang menduduki kawasan bantaran sungai dan lahan yang dengan kemiringan yang cukup curam sebenarnya bukan lokasi yang aman untuk dihuni. Terlepas dari resiko ketidak-amanan dari lokasi fisiknya, sebagai kampung yang berkembang secara ‘organik’ sampai saat ini Ledhok Timoho juga masih dihantui oleh persoalan legalitas kepemilikan. Karena soal kepemilikan tanah yang tidak kunjung jelas, sewaktu-waktu warga penghuninya bisa dipindah-paksa atau digusur oleh pemerintah. Di sisi lain, di kampung ini juga terbentuk satu lembaga yang bernama TAABAH (Tim Advokasi Arus Bawah) yang sejauh ini salah satu fungsinya adalah untuk menjaring dukungan swadaya oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
Dalam tulisan ini, saya menggunakan metode wawancara informal dengan warga Ledhok Timoho. Saya mendatangi warga di rumah masing-masing, dan ada pula yang saya temui di jembatan, warung, maupun di angkringan. Ketertarikan saya dengan kampung ini dilatari oleh beberapa hal. Selain karena kondisi geografisnya yang berbeda dengan kampung lain dan proses pembentukannya yang terkesan organik, sebagian warga yang tinggal di Ledhok Timoho tidak mempunyai dokumen resmi yang lengkap. Saya ingin melihat bagaimana warga yang tidak terdokumentasikan ini dapat bertahan di tengah tuntutan institusionalisasi dan birokratisasi yang semakin menguat.
1. Pembentukan Kampung Ledhok Timoho sebagai ruang organik
Pada awalnya kampung ini hanya berupa lokasi tinggal dua orang (Pak Lala—meninggal pada 2014— dan Pak Harjono) yang sejak 1995 mendirikan rumah semi-permanen di bantaran sungai Gajah Wong. Pada masa itu sehari-hari kedua orang ini berprofesi sebagai pemulung/pengumpul barang-barang bekas dan mereka diberikan tanggung jawab untuk menjaga dan mengawasi proyek pengerjaan jembatan oleh Pemerintah Daerah. Berawal dari dua gubuk yang dibangun sebagai hunian Pak Lala dan Pak Harjono, kemudian beberapa orang yang sebelumnya tinggal di bantaran sungai dekat Kampus Unversitas Islam Negri (UIN) Yogyakarta dan mengalami penggusuran berpindah ke kawasan tersebut. Lama kelamaan warga yang sudah terlebih dahulu tinggal di kawasan ini pun mengajak saudara ataupun teman-teman mereka yang juga mengalami kesulitan mendapatkan tempat tinggal untuk pindah ke Ledhok Timoho. Sebagian besar dari warga Ledhok Timoho berasal dari luar Kota Yogyakarta. Lainnya ada yang berasal dari daerah lain di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan bahkan ada pula yang berasal dari Sumatera. Kebanyakan dari mereka rata-rata sudah lebih dari lima tahun tinggal di daerah lain di Yogyakarta sebelum akhirnya pindah ke Ledhok Timoho.
Kondisi awal kawasan Ledhok Timoho masih seperti layaknya hutan. Di sana-sini terdapat gundukan-gundukan tanah hasil pembuangan proyek-proyek jembatan, jalan masih berupa jalan setapak, belum ada listrik, tanah masih berbukit, dan marak dengan tikus. Sebagian besar warga kampung awalnya mengumpulkan barang-barang bekas untuk mata pencaharian. Sebagian besar hunian berciri semi-permanen, dengan menggunakan dinding gedhek (anyaman bambu).
Yang saya seringkali rujuk sebagai kampung ‘organik’ dalam tulisan ini pada umumnya melekat pada ciri proses pembentukan Ledhok Timoho. Mengapa dapat dikatakan organik? Karena proses terbentuknya kampung ini terjadi secara mandiri tanpa melibatkan dan campur tangan dari pemerintah. Ia terbentuk dari inisiatif warganya yang bergulir dari ikatan emosional, pengalaman bersama dan kemiripan nasib, terutama sebagai pihak yang mengalami penggusuran dari bantaran sungai di kawasan UIN Yogyakarta. Tanpa diarahkan oleh siapapun, termasuk pemerintah, warga memutuskan untuk membuat kawasan hunian bersama yang baru. Secara mandiri warga bergerak untuk membangun lingkungan dan infrastruktur di lokasi yang mereka tinggali tanpa sokongan dari pemerintah lokal. Proses ini juga dilakukan atas kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat yang dimediasi oleh Taabah. Ciri kemandirian inilah yang membedakan Ledhok Timoho dengan sejarah kampung lainnya di Yogya. Sebagian besar kampung di Yogya terbentuk melalui politik kekuasaan Kraton. Seperti Kampung Mantrijeron, misalnya. Kawasan huni ini awalnya terbentuk karena Kraton memberikan kapling tanah seluas 2000 meter persegi yang sudah ditentukan untuk mereka yang mengabdi sebagai prajurit Mantrijeron. Sebagian besar kota Yogya terbentuk dari kampung-kampung yang dibentuk Kraton, seperti Kampung Patang puluhan, Jogokaryan, Bugisan, Daengan (sekarang bernama Gedongkiwo), dan lainnya. Sementara itu Kampung Ledhok Timoho tidak menempuh sejarah yang sama. Ketika Pak Harjono dan Pak Lala pertama kali tinggal di sana misalnya, kawasan itu masih lahan yang kosong tak terpakai, dan bukan lokasi yang memang disiapkan sebagai hunian.
Selain kampung-kampung bentukan kraton, kota Yogya juga dicirikan oleh hadirnya kampung-kampung penduduk miskin kota. Kampung Ledhok Tukangan merupakan salah satu contohnya. Ada kemiripan historis dan geografis antara Ledhok Timoho dan Ledhok Tukangan yang terletak di bantaran Kali Code, di pusat Kota Yogyakarta yang hanya berjarak 500 meter dari pusat perbelanjaan Malioboro. Menurut salah satu narasumber yang saya temui di Ledok Tukangan, kampung ini mulai berdiri dari rumah-rumah semi permanen yang dibangun oleh buruh yang berasal dari perdesaan di sekitar Kota Yogyakarta. Karena lokasi desa mereka yang cukup jauh dari kota, hunian ini difungsikan sebagai tempat tinggal selama hari kerja oleh para buruh tersebut dan mereka akan pulang ke desanya di akhir minggu. Namun mengingat situasi ini sudah berlangsung lama, kampung-kampung warga miskin kota seperti Ledhok Tukangan sudah berkembang menjadi kampung padat penduduk dan diakui secara dejure oleh pemerintah. Hal ini yang membedakan dengan kondisi yang berlangsung dengan Ledhok Timoho.
Sampai saat ini kampung Ledhok Timoho sendiri belum diakui oleh pemerintah secara dejure sebagai sebuah kampung. Ini ditandai oleh belum berlakunya konsep Rukun Tetangga (RT) yang merupakan sistem penataan masyarakat terkecil yang diterapkan pemerintah. Sebelum sepadat sekarang, kampung Ledok Timoho tidak punya “aturan” jelas mengenai penataan lahan. Berdasarkan kesepakatan warga, siapa saja boleh mendirikan tempat tinggal atas dasar musyawarah. Namun seiring dengan semakin padatnya kampung, warga pun mulai membentuk pola hidup bersama yang lebih sistematis. Hal ini dilakukan dengan cara mengorganisir diri ke dalam sistem koordinasi antar warga yang berbasis kebutuhan komunitas di mana anggota-anggota komunitas Ledhok Timoho ditunjuk untuk bekerja ke dalam satu sistem kepengurusan bersama. Peran organisasi berbasis komunitas ini sangat penting bagi warga dalam memperjuangkan hak-haknya, seperti hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan kesehatan yang murah.
Dari segi fisik, kondisi Kampung Ledhok Timoho juga mulai mengalami perubahan. Sebagai indikator misalnya sebagian besar rumah warga sudah berdinding tembok, sudah tersedianya aliran listrik, dan rumah-rumah warga juga sudah tertata rapi. Hal itu pernah disampaikan oleh Pak Narto warga Ledhok Timoho yang merupakan generasi awal menghuni Ledhok Timoho yang dulu berasal dari kawasan pinggir sungai di UIN Yogyakarta dan menjadi salah satu pelopor untuk membuat jalan masuk ke Ledhok Timoho ini:
“Dulu itu, 10 tahun yang lalu belum seperti ini mas. Disitu itu ada gundukan tanah kayak gunung tingginya tiga meter, belum ada listrik, jalannya masih belum bagus seperti sekarang ini. Jadi kalau sudah abis Maghrib kondisi disini sangat senyap mas. Takut kalau mau keluar, soalnya belum ada listrik. Berbeda dengan saat ini, sudah sangat rapi, listrik sudah ada”[1].
Kampung ini mengalami perkembangan yang relatif pesat. Dari segi penduduknya, pada periode awal (sekitar 2005) hanya dihuni oleh sekitar delapan kepala keluarga saja, sedangkan saat ini sudah dihuni lebih dari 60 kepala keluarga[2]. Untuk persoalan infrastruktur kampung pun saat ini juga berkembang, sudah ada Mushola, Pos Kampling, TK (Taman Kanak-kanak) dan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), serta setiap rumah sudah mendapatkan listrik. Bahkan untuk akses jalan kampung pun sudah baik.
Selain baru terbentuk, Kampung Ledhok Timoho juga mempunyai karakter fisik yang unik. Di salah satu sudut kampung ini terbentang satu jembatan buntu yang tidak berfungsi. Pada awalnya jembatan ini dirancang sebagai jalan yang dapat menghubungkan dua wilayah antara kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Namun menurut cerita warga karena sulitnya pembebasan lahan dari perumahan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang lokasinya berada diseberang jembatan akhirnya jembatan ini tidak berfungsi sebagai mana mestinya dan tidak ada tindak lanjut dari Pemerintah Daerah sejak pertama kali jembatan ini dibangun.
Di Yogyakarta, jembatan yang berada di Ledhok Timoho ini adalah satu-satunya jembatan buntu yang tidak berfungsi sebagai akses jalan. Warga sendiri menerima manfaat dari keberadaan jembatan buntu ini, dengan menggunakannya sebagai sebagai ruang bersama untuk kegiatan anak bermain anak-anak dan remaja pada waktu sore hari atau bahkan bapak-bapak serta ibu-ibu juga sering berkumpul di sana untuk bersosialisasi. Jembatan ini juga kerap digunakan untuk kegiatan bersama warga kampung. Sedangkan warga lain juga ada yang memanfaatkan beberapa ruang/lahan di pinggir sungai untuk menanami tumbuhan yang dapat dikonsumsi sehari-hari, sedangkan di sebelah selatan kampung warga juga memanfaatkan lahan untuk memelihara ternak seperti kambing dan sapi, ternak ini dikelola bersama oleh warga kampung yang dikoordinasi oleh Taabah.
2. Ledhok Timoho dan legalitas identitas
Selain statusnya yang tidak diakui resmi oleh pemerintah, lokasi kampung yang hanya memiliki satu akses pintu masuk yang terselip di sela-sela bangunan tinggi di perumahan elit,semakin membuat kampung ini terkesan terpinggirkan dan terisolir. Ada beberapa alasan yang dikemukakan warga mengenai mengapa kampung Ledhok Timoho belum diakui secara dejure. Terutama karena status kepemilikan seluruh lahan kampung itu sendiri yang masih abu-abu, karena tidak adanya surat kepemilikan lahan. Jika di kampung-kampung lain di Yogyakarta, setiap lahan dan bangunan yang ditempati oleh warganya kebanyakan sudah dilengkapi dokumen kepemilikan, maka sebaliknya, tak satupun warga Ledhok Timoho yang memiliki sertifikat tanah dan bangunan. Satu-satunya bukti kepemilikan yang umumnya dipunyai warga adalah kuitansi sebagai bukti pembelian tanah/rumah, yang sifatnya hanya sebagai bukti uang ganti rugi.
Di kampung ini ada tiga cara dalam mengakuisisi tanah tempat tinggal. Pertama, memberi uang ganti rugi lahan kepada pihak komunitas kampung dan dana ini dikontribusikan dana kas kolektif Kampung. Kedua, bagi mereka yang menghuni bagian utara kampung mereka diharuskan membayar uang ganti rugi ke pihak koperasi Bus Kobutri karena pada awalnya tanah di bagian utara kampung sudah diklaim oleh para sopir Bus Kobutri dengan mendirikan pondasi. Dan yang terakhir, ada pula yang sama sekali tidak memberikan uang ganti rugi, jadi langsung saja membangun rumah namun tetap melalui musyawarah bersama warga Ledhok.
Selain tidak didukung oleh dokumentasi kepemilikan/akte tanah yang resmi, warga Ledhok Timoho sering menghadapi kesulitan ketika mengakses kebutuhan dasar mereka, seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak. Ini karena mereka juga tidak dilengkapi dengan dokumen kependudukan seperti KTP (Kartu Tanda Penduduk), Kartu Keluarga, Surat Nikah, dan lainnya. Dokumen-dokumen tersebut merupakan syarat wajib yang dikehendaki pemerintah jika warga hendak mengakses kebutuhannya. Ketiadaan dokumen kependudukan ini disebabkan oleh banyak faktor. Hampir seluruh warga Kampung Ledhok Timoho misalnya, berasal dari luar Kota Yogyakarta dan hanya sedikit yang sudah mendaftarkan statusnya sebagai warga Kota Yogyakarta. Tidak sedikit pula mereka yang memang sejak awal tidak terdokumentasikan di birokrasi pemerintahan karena status ekonominya sebagai warga miskin. Hal ini menjadi kendala terbesar bagi warga dalam mengakses haknya untuk mengakses bantuan-bantuan dari pemerintah, mengajukan hak-hak politik, dan lain-lain. Walaupun sebenarnya mereka yang masih memiliki dokumen dari tempat asal pada dasarnya masih bisa mendapatkan hak-haknya tersebut, namun untuk itu mereka memang harus kembali ke daerahnya (sesuai dengan KTP) yang jaraknya cukup jauh.
Pak Jumadi seorang pengurus kampung yang telah tinggal di Ledhok Timoho sejak 2008 dan sehari-hari berprofesi sebagai fotografer lepas, dalam wawancaranya mengatakan bahwa:
“Hampir lebih dari 80 % warga Ledhok Timoho tidak memiliki KTP Kota Yogyakarta. Hanya ada dua keluarga disini (pak Jumadi dan Pak Heri) yang memiliki kartu keluarga di sini”[3].
Sebagai catatan, persyaratan untuk mendaftar menjadi warga Kota Yogyakarta adalah pertama harus mencabut berkas dari daerah asal setelah itu mereka baru mengajukan permohonan untuk menjadi warga ke RT/RW yang akan menjadi domisili. Namun mengingat kondisi kampung yang tidak diakui secara formal dan tidak punya RT, warga seringkali mengalami kesulitan di tingkat birokrasi pemerintahan. Dampak negatifnya beragam. Salah satu warga misalnya tidak diperbolehkan memakamkan anggota keluarganya yang meninggal karena anggota keluarga yang meninggal tersebut tidak ber-KTP Kota Yogyakarta.
Kasus lain, seperti yang disampaikan oleh Pak Pono (60 tahun), bahwa dirinya pernah ditolak oleh pihak birokrasi saat akan mencairkan dana BLT (Bantuan Langsung Tunai) berupa uang tunai sebesar Rp. 300.000,- dari pemerintah pusat untuk warga miskin karena dia tidak memiliki KTP domisili setempat. Akhirnya dia tidak dapat mencairkan dana tersebut dan harus kembali lagi dengan surat keterangan dari RT/RW yang menunjukkan dan menyatakan bahwa dia benar-benar tinggal di wilayah Timoho[4]. Terkait dengan surat nikah misalnya, dalam satu program nikah massal yang diselenggarakan Pemerintah Kota Yogyakarta beberapa warga ledhok yang belum mempunyai surat nikah dianjurkan untuk mendaftar. Namun satu pasangan warga misalnya, Ibu Sri dan Pak Kumis, batal dinikahkan karena dalam KTP-nya status ibu Sri masih tertulis sebagai menikah/kawin. Hal ini menjadi persoalan di KUA (Kantor Urusan Agama). Setelah diusut ternyata ibu Sri saat membuat KTP menuliskan status menikah/kawin karena alasan saat itu sudah mempunyai anak namun belum menikah secara resmi di KUA[5].
Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan peran penting dokumen warga, bukan hanya sebagai identitas pribadi saja melainkan juga sebagai alat mengakses layanan publik. Pak Jumadi juga pernah menyampaikan:
“Saya merasakan sulitnya mengurus pindah domisili, saya harus bolak-balik ke sana-ke mari, tapi saya merasakan efeknya sekarang mas, semua urusan yang berhubungan dengan keluarga saya, saya tidak lagi harus balik ke desa. Waktu itu memang saya habis banyak mas, ya tenaga dan duit yang tidak sedikit”[6].
Di dunia pendidikan dokumen kependudukan juga memainkan peran penting. Seorang calon murid yang orangtuanya tidak mempunyai Kartu Keluarga setempat maka akan mengalami kesulitan ketika mendaftar. Ini karena peraturan yang berlaku di Kota Yogyakarta menyatakan bahwa untuk masuk sekolah negeri prioritas diberikan pada anggota masyarakat yang mempunyai kartu keluarga, sementara yang tidak mempunyai kartu keluarga kota Yogyakarta hanya mendapatkan kuota 20% dari daya tampung setiap sekolah. Atas alasan ini misalnya Pak Marsidi, warga Ledhok yang baru dua tahun tinggal di kampung ini, mencabut semua dokumen dari daerah asal untuk pindah menjadi warga Kota Yogyakarta demi pendidikan anaknya. Menurutnya apabila sudah menjadi warga yang diakui secara formal semua urusan akan menjadi lebih mudah, seperti dalam soal pendidikan serta mendapatkan akses bantuan-bantuan pemerintah untuk rakyat miskin[7]. Namun tidak semua warga punya pemikiran seperti Pak Marsidi.
Satu-satunya bantuan dari pemerintah yang sampai saat ini masih diterima oleh warga Ledhok adalah program beras subsidi RASKIN (Beras untuk Rakyat Miskin). Warga Ledhok Timoho masih mendapatkan subsidi beras RASKIN dari pihak kelurahan sebanyak 25 karung beras seberat 15 kilogram setiap karungnya. Sebenarnya pada awalnya mereka mendapatkan jatah 29 karung tetapi kemudian jatah ini dikurangi menjadi 25 karung. Namun, warga belum mempunyai keberanian untuk menanyakan ke pihak kelurahan mengenai alasan atas keputusan ini, karena warga merasa belum kuat ketika kawasan Ledhok Timoho belum mempunyai RT sendiri.
Dalam satu kesempatan berbincang-bincang dengan para Ibu di Ledhok Timoho kebanyakan dari mereka menyatakan bahwa sebenarnya seluruh warga Ledhok Timoho berhak mendapatkan subsidi RASKIN karena status ekonominya yang masih dibawah rata-rata. Mereka juga menyatakan bahwa permasalahan distribusi RASKIN di kampung ini juga dirasa belum merata, karena beberapa keluarga yang sebenarnya membutuhkan malah tidak mendapatkan. Namun alih-alih mempertanyakan hak mereka ke pihak birokrasi, mereka memilih untuk untuk membagi dengan rata jatah mereka dapatkan tersebut ke seluruh warga Ledhok.
3. Siasat kemandirian warga
Di Kampung Ledhok Timoho sendiri ada lembaga TAABAH (Tim Advokasi Arus Bawah) yang bekerja untuk mendukung keberlangsungan kampung. Lembaga ini dikoordinatori oleh Om Beng-Beng, yang juga berperan sebagai ketua komunitas warga Ledhok Timoho dan telah tinggal di kampung ini lebih dari 15 tahun. TAABAH dibentuk untuk membantu warga yang mengalami kesulitan dalam mengakses layanan sosial. Keberadaan lembaga ini memang sangat membantu masyarakat Ledhok Timoho untuk mengakses program layanan sosial baik dari pemerintah maupun lembaga-lembaga non-pemerintah. Melalui TAABAH yang sudah mempunyai banyak relasi dengan lembaga non-pemerintah, kampung ini sering mendapatkan bantuan-bantuan, misalkan untuk pembangunan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dan Mesjid, serta beasiswa untuk anak-anak kampung agar bisa bersekolah. Di samping itu lembaga-lembaga tersebut juga terkadang terjun ke lapangan langsung, misalkan untuk memberikan program belajar bersama untuk anak-anak secara rutin setiap Rabu dan Jumat serta mengadakan pelatihan ketrampilan untuk ibu-ibu kampung.
Selain itu, kampung Ledhok Timoho juga sering menjadi tempat pelaksanaan kuliah kerja nyata (KKN). Banyak mahasiswa dari kampus-kampus sekitar melakukan penelitian di kampung ini untuk kepentingan tugas kuliahnya. Namun terkadang begitu selesai dengan risetnya di Ledhok Timoho, para mahasiswa ini kerap pergi begitu saja dan masyarakat Ledhok Timoho tidak mendapatkan manfaatnya. Hal itu pernah dikeluhkan oleh beberapa warga yang saya temui. Mereka menyayangkan kondisi di mana mahasiswa yang melakukan penelitian/skripsi tidak memberikan hasil temuannya ke warga. Padahal awalnya ketika akan melakukan penelitian atau kegiatan lainnya, mereka biasanya “menjanjikan” ingin membantu warga di kampung ini untuk dapat mengembangkan kampung ini. Bagi warga kecenderungan seperti ini terkesan eksploitatif.
Seiring dengan semakin padatnya kampung, muncul keinginan di sebagian kalangan warga untuk mendapat pengakuan resmi dari pemerintah. Pengakuan ini dianggap perlu untuk demi memdahkan akses layanan publik. Namun, sebagian warga lain juga memandang bahwa prosedur yang diajukan oleh pihak birokrat bukanlah hal yang mudah untuk diatasi, kadang persyaratan yang diajukan justru semakin mempersulit kondisi keseharian. Perbedaan pandangan ini antara lain dipengaruhi oleh semakin beragamnya latar belakang warga yang berpindah ke Ledhok Timoho. Hal ini terjadi karena orang-orang baru yang menghuni Ledhok Timoho tidak mempunyai kesamaan pengalaman dengan orang-orang yang menghuni kampung ini lebih dulu. Kebanyakan dari penghuni baru tidak berprofesi sebagai pengumpul barang-barang bekas, dan punya kebutuhan lain di luar soal tempat tinggal.
Kini warga Ledhok Timoho berhadapan dengan tantangan untuk mencari jalan keluar bersama-sama mengenai bagaimana berstrategi untuk mendapat pengakuan dari pemerintah sebagai penyelenggara kehidupan publik tanpa meninggalkan semangat kemandirian yang melandasi keberadaan kampung mereka dan mewarnai kehidupan mereka sebagai komunitas.
Biografi Penulis:
Fajar Riyanto lahir, tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Saat ini sedang menyelesaikan kuliah di jurusan Fotografi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Di samping itu Fajar juga aktif bekerja bersama dengan komunitas melalui praktik seni fotografinya.
Referensi:
Erlangga, Ardyan M. dkk. (2011) Ruang Kota, Yogyakarta: Ekspresi Buku.
Catatan Kaki:
[1] Dikutip dari pernyataan Pak Narto, 1 April 2015
[2] Dikutip dari pernyataan Ibu Yani, 1 Oktober 2015
[3]Dikutip dari pernyataan Pak Jumadi, 22 Maret 2015
[4]Dikutip dari pernyataan Pak Ponol, 4 Februari 2015
[5]Dikutip dari pernyataan Pak Ponol, 4 Februari 2015
[6]Dikutip dari pernyataan Pak Jumadi, 22 Maret 2015
[7] Dikutip dari pernyataan Pak Marsidi, 4 Februari 2015