Oleh: Samia Dinkelaker,Thomas Stodulka, Ferdiansyah Thajib.

(click here for English version)

Ethnolab kali pertama pada 2015 telah menghasilkan sekumpulan enam kertas kerja, yang menampilkan beragam penelitian yang dilakukan oleh para pesertanya mengenai berbagai fenomena sosial dan budaya sehari-hari di kota Yogyakarta. Keunikan setiap tulisan dalam topik, pendekatan dan gaya mencerminkan latar belakang para penulis yang berbeda dalam hal disiplin, minat dan posisionalitas. Namun kami juga ingin menggarisbawahi beberapa kesamaan yang menghubungkan masing-masing studi kasus empiris tersebut:

1. Tubuh, peran dan emosi peneliti sebagai perangkat penelitian.

Bagus Anggoro Moekti dan Fermin Suter sama-sama terlibat dalam topik yang mereka dekati dengan cara penubuhan. Moekti berfokus pada posisi dan peran dari stan merchandise di dalam skena musik di Yogyakarta dan menyoroti aspek-aspek informal yang mempromosikan ‘musik indie’ lokal menjadi bentuk ekonomi alternatif. Bekerja sebagai penjaga di stan-stan merchandise, Moekti mengembangkan pemahaman di lapangan bukan hanya dengan mengacu pada penjelasan dari lawan bicaranya, tapi juga merujuk ke pengalamannya sendiri di skena tersebut. Keterlibatannya dalam topik penelitiannya memungkinkan dirinya untuk memperoleh wawasan yang lebih dalam dari lawan bicaranya, yang juga rekan kerja dan teman-temannya sendiri. Dalam menyimpulkan analisisnya, ia menyadari bahwa stan merchandise sebagai komoditas yang merangsang kehidupan sosial dan nilai-nilai kesejahteraan dan kebersamaan yang melampaui transaksi ekonomi. Deskripsinya mengenai kerja para penjaga stan merchandise memungkinkan pemahaman yang ‘mendalam’ dari karakter dan perkembangan dunia musik independen Yogyakarta.

Dalam etnografinya mengenai perjumpaan antara para pemandu wisata informal dan turis perorangan di Yogyakarta, Fermin Suter mengangkat pengalamannya sendiri ketika dipandu ke sejumlah tujuan wisata di Yogyakarta. Ia tertarik pada kerja emosional para pemandu wisata, dan dalam rangka mengenal para pemandu wisata informal dan praktik mereka dalam merekrut turis, ia menubuhkan sosok sebagai wisatawan di Yogyakarta, menjelajahi pelosok kota dan berinteraksi dengan ‘berbagai tipe’ pemandu wisata informal yang berbeda – tukang becak, penjual batik, birokrat setempat dan penduduk yang tinggal di sekitar Keraton Kesultanan. Analisisnya mengenai ekonomi emosional yang bekerja dalam perjumpaan antara wisatawan dan pemandu wisata informal didasarkan pada pengalaman afektifnya sendiri. Seperti Moekti, ia tak hanya bertindak sebagai peneliti atau pengamat, tapi ia juga berperan aktif sebagai turis. Dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai ‘umpan melalui nongkrong’, ia berhasil menjalin kontak dengan para tokoh utama penelitiannya dan mengumpulkan data.

Mira Shah visiting IVAA, film still. Emanuel Mathias.

Mira Shah mengunjungi IVAA, dok. Emanuel Mathias.

2. Menggali ekpresi representasi diri

Sementara riset etnografi Bagus Anggoro Moekti dan Fermin Suter diwarnai dengan pentingnya peran pengalaman pribadi dan keterlibatan mereka dengan topik-topik penelitian masing-masing, riset etnografis-nya Gatari Surya Kusuma dan Mira Shah ditandai dengan keterlibatan mereka dalam representasi diri dan persepsi diri dari subyek yang mereka teliti. Kontribusi Kusuma mencoba menggali makna apa yang diciptakan dan dikomunikasikan lewat arsip foto keluarga. Ia membahas dua koleksi foto keluarga dengan melihat bentuk presentasinya, cara pengarsipannya dan bagaimana subyek-subyek penelitiannya memberi makna pada foto-foto tersebut.

Fokus Mira Shah pada representasi diri orang-orang yang ia wawancara berkaitan dengan ketertarikannya terhadap kondisi, cara-cara dan bentuk dari produksi seni kontemporer di Yogyakarta. Ia mengunjungi berbagai pameran dan tempat kerja para seniman individu, ruang inisiatif kolektif seniman dan kurator serta terlibat dalam berbagai percakapan mengenai pemahaman mereka tentang diri mereka sendiri dan karya mereka, tentang ruang seni dan keadaan sosial ekonomi yang terkait di Yogyakarta. Melalui ketertarikannya dalam pendeskripsian diri dan pelabelan diri, Shah menelusuri benang merah yang menghubungkan praktik-praktik ruang seni di Yogyakarta. Analisisnya menantang asumsi tentang “kealternatifan” yang terlalu sering digunakan dan kadaluwarsa dalam menggambarkan dinamika kontemporer lokal.

3. Membingkai Marjinalisasi Lintas-spesies

Riset etnografi yang dilakukan Fajar Riyanto dan Julia Keil berkisar pada topik-topik yang diwarnai dengan isu etika dan politik. Riyanto membahas topik marjinalisasi sosial di struktur perkotaan Yogyakarta dengan menuliskan pengalamannya berkolaborasi dengan para penduduk di kampung Ledok Timoho – suatu pemukiman ‘informal’ di bagian Timur kota Yogyakarta. Etnografi Fajar mencerminkan kendala-kendala yang muncul dalam informalitas komunitas urban ketika para anggota komunitas tersebut mencoba mengakses hak-hak formalnya sebagai warga negara. Ia sering mengunjungi lokasi riset lapangannya bukan hanya sebagai etnografer tapi juga sebagai bagian dari aktivitas sehari-harinya di KUNCI yang aktif bekerja dalam pelibatan komunitas Ledok Timoho. Sebagai editor, kami melihat bagaimana dalam keterlibatannya dengan subyek-subyek yang ia jumpai di lapangan, Riyanto dituntut untuk selalu menajamkan kesensitifannya dalam menjalankan perannya sebagai aktivis sekaligus peneliti.

Screen Shot 2016-02-02 at 13.32.20

Julia Keil berbincang-bincang dengan Zulchizar Arie di kantor KUNCI, dok.: Emanuel Mathias.

Termotivasi oleh kepeduliannya terhadap kesejahteraan fauna, Julia Keil mengeksplorasi hubungan antara manusia dengan primata non-manusia. Etnografinya menggambarkan pengamatan dan interaksinyadi kebun binatang setempat, di pasar hewan, sebuah sekolah dasar dan situs-situs lainnya di Yogyakarta. Ia mengeksplorasi sikap beragam individu dan komunitas terhadap primata non-manusia. Dalam gaya perbandingan budaya antara Jerman dan Indonesia, ia menarik kesimpulan bahwa kedua konteks memiliki persamaan pola sikap terhadap binatang. Kontribusi ini menyuarakan tuntutan untuk menangani dan mengelola emosi di lapangan dan juga untuk sensitivitas budaya menyusul perjumpaannya dengan berbagai bentuk kekejaman terhadap binatang di kehidupan sehari-hari.

4. Pengalaman etnografi: Sebuah Napak Tilas

Keenam kontribusi ini punya banyak kesamaan dalam pengumpulan data dan penulisan etnografis (lihat pengantar umum ke etnografi misalnya Agar 1980; Breidenstein et. al. 2013; Sanjek 2014).[1] Para peserta Ethnolab dihadapkan pada dinamika dan logika dari situs penelitian mereka masing-masing – berbeda dari bentuk-bentuk penelitian sosial yang sudah terstandarisasi, para penulis memiliki kendali yang kecil terhadap proses penelitian. Oleh karenanya pandangan para penulis atergantung pada kelenturan, kesabaran dan keberaniannya untuk bersandar pada kebetulan, dan juga bantuan, informan dan peserta penelitian lain yang terbuka dalam membagi pengetahuannya. Dengan membenamkan diri ke topik-topik dan lapangannya masing-masing, para penulis untuk memahami praktik-praktik yang mereka alai bukan dengan melalui medium narasi ulang, melainkan melalui keberadaan mereka di situs-situs tempat peristiwa terjadi – berbagai lokasi wisata Yogyakarta, stan merchandise, ruang tamu, ruang seni, kampung informal, kebun binatang atau sekolah-sekolah dasar.

Perlu dicatat di sini bahwa proses ini bukanlah soal bagaimana seseorang “mengontrol lapangan” dan “mengetahui” tapi yang paling penting adalah soal “belajar” (Agar, 1980, hal. 119). Dalam proses belajar ini, para penulis mendekati makna dan relevansi yang dilekatkan oleh para partisipan riset pada beragam praktik dan fenomena; mereka masuk ke dalam apa yang dinamakan sebagai perspektif emik. Sudah barang tentu ini bukan berarti bahwa ini semua adalah soal para etnografer yang menemukan suatu cara pandang yang “tergeletak di luar sana”. Alih-alih, baik peneliti maupun yang diteliti saling menginterpelasi satu sama lain dalam cara-cara yang tergantung pada posisi mereka di struktur sosial dan asimetri kekuasaan yang bekerja. Kami beranggapan bahwa situasi inilah yang terjadi ketika subyek yang diteliti berhadapan dengan Fajar Riyanto yang bekerja sebagai aktivis (dengan latar pendidikan tinggi), atau Mira Shah sebagai representasi skena seni Barat yang kosmopolitan. Kita perlu untuk selalu menyadari bahwa informasi yang disampaikan tidak terlepas dari posisionalitas: data etnografis selalu ‘tergantung situasi’ (Haraway 1988) dan ‘relasional’ (Spencer 2012).  

Fajar Riyanto dkk. berinteraksi dengan sekelompok anak di Ledhok Timoho, dok.: KUNCI.

Fajar Riyanto dkk. berinteraksi dengan sekelompok anak di Ledhok Timoho, dok.: KUNCI.

Semua kontribusi yang Anda temukan di dalam blog ini adalah hasil dari proses yang bercermin pada keterlibatan para penulis di riset lapangannya masing-masing. Mendokumentasikan dan menuliskan pengalaman memungkinkan mereka untuk melakukan refleksi mendalam atas pertanyaan bagaimana berbagai pengalaman ini bisa memberi terang pada ketertarikan, proses dan hasil riset dari masing-masing penulis. Meski refleksi ini pastinya dapat mengakibatkan sakit kepala dan disertai dengan jalan yang berliku selama prosesnya, kami percaya bahwa para peserta Ethnolab (sebagian lebih terbiasa dengan materi berupa teks atau bentuk produksi data yang lebih baku; sementara yang lain lebih berorientasi pada kegiatan berbasis praktik) dapat mengambil manfaat dari cara etnografi menghasilkan pengetahuan. Para penulis bereksperimen dengan upaya etnografis untuk memahami dan menggambarkan kompleksitas yang melekat pada berbagai interaksi sosial, mengembangkan analisa kritis atas beragam isu sosiokultural dan semakin memperkaya proses riset itu sendiri sebagai proses interpretasi data. Dalam aspek inilah, standar pengujian ilmiah yang sudah terbakukan mencapai batas-batasnya

 

Referensi:

  • Agar, M. H. (1980). The professional stranger: an Informal Introduction to Ethnography. New York: Academic Press.
  • Breidenstein, G., Hirschauer, S., Kalthoff, H., & Nieswand, B. (2013). Etnografie. Stuttgart: UTB.
  • Gupta, A., & Ferguson, J. (1997). Discipline and Practice:’The Field’ as Site, Method and Location in Anthropology. dalam A. Gupta & J. Ferguson (Eds.), Anthropological Locations. Boundaries and Grounds of a Field Science (hal. 1–46). Berkeley: University of California Press.
  • Haraway, D. (1988). Situated Knowledges : The Science Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective. Feminist Studies, 14(3), 575–599.
  • Sanjek, R. (2014). Ethnography. dala, Ethnography in Today’s World: Color Full Before Color Blind (hal. 59–71). Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
  • Spencer, D. (2012). Introduction. Emotional Labour and Relational Observation in Anthropological Fieldwork. dalam D. Spencer & J. Davies (Eds.), Anthropological Fieldwork: A Relational Process (pp. 1–34). Newcastle: Cambridge Scholars Publishing.

Catatan Kaki:

[1] Kami tidak mengacu pada “pola dasar” etnografi pascakolonial (Gupta & Ferguson, 1997, h. 11) yang mendominasi kajian antropologi dalam kurun waktu yang cukup lama. Pola dasar etnografi ini menyiratkan “perjalanan panjang ke tempat yang agraris, perdesaan atau bahkan ‘liar’” (ibid, h. 8) demi mengkaji ‘Yang Liyan’ non-Eropa ketika mereka bersosialisasi di habitat ‘alamiahnya’. Alih-alih, seturut dengan antropolog yang mengkritisi terlibatnya disiplin ini dalam poros kuasa-pengetahuan, kami merujuk pada cara kerja yang khas, yang cirinya kami jelaskan di bagian berikut.